Social Icons

Pages

Selasa, 03 Desember 2013

PENEGAKAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF HISTORIS

MAKALAH AKHIR SEJARAH HUKUM


                     


                                                                   




Oleh


          NAMA       :YOSEF ROBERT NDUN
          Nim            :322013020



MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2013


PENEGAKAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF HISTORIS
A.    PENDAHULUAN
Pada era sekarang nilai penegakan hukum dipandang sangat memprihatinkan dimata masyarakat, karena aparat penegak hukum tidak melakukan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat pada umumnya. Dan dianggap bahwa tidak mencapai nilai keadilan.
Melihat perkembangan penegakan hukum yang telah terjadi pada masa sekarang sangatlah membawa suatu pemahaman yang sangat berbeda dengan harapan kita. Mengapa demikian, karena penegakan hukum yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang di rumuskan dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 serta Pancasila, yang sebagaimana menjadi falsafah negara kita Indonesia.
Seperti kita ketahui bersama bahwa dalam setiap orang menginginkan dapat ditetapkannya suatu hukum yang mana dapat memaksimalkan setiap masalah konkret yang sering terjadi. Hukum harus didilaksanakan dan ditegakkan. Bagaimana hukumnya, itulah yang harus diberlakukan pada setiap peristiwa yang terjadi sehingga tidak terjadi penyimpangan.[1]
Berbicara mengenai penegakan hukum yang ada di Indonesia tidak terlepas dari sejarah yang telah berjalan cukup lama. Hukum yang ada di Indonesia tersebut berasal dari Negara Belanda, yang dulu pernah menjajah Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, bahwa Indonesia telah mengadopsi hukum yang berasal dari negara Belanda tersebut.  sebab itu pada penegakannya juga selalu mengikuti pola pemikiran yang menjadi tradisi dari pemerintahan kolonial Belanda.
Hukum yang berlaku di Indonesia saat ini masih banyak yang merupakan peninggalan warisan kolonial Belanda, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (wetboek van Strafrecht), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Kitab Undang-undang Hukum Dagang (wetboek van Koophandel), Hukum Acara Perdata (yang termuat dalam Herziene inlandsch Reglement dan Rechstreglement voor de Buitengewesten) yang lazimnya disebut hukum-hukum pokok (basic law). Yang mana dibuat sedikit banyak atau keseluruhan untuk kepentingan penjajah atas falsafah kapitalistis, materialistis, dan individualis, maka peraturan-peraturan hukum tersebut tidak selamanya sesuai dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia yang sekarang sudah berada di alam kemerdekaan dan pembangunan.[2]
Selanjutnya bahwa hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum agama, dan hukum adat. Sehingga dapat dikatakan bahwa dapat terjadi benturan antara sistem yang satu dengan sisetem yang lain. Menurut Raz, sebagaimana dikutip dalam bukunya Prof. Teguh Prasetyo & Abdul H. Barkatullah, sebagai salah satu sistem, hukum akan mempengaruhi kinerja sistem-sistem yang lain dalam kehidupan bernegara. Sehinggga apabila negara yang sistem hukumnya demokratis maka akan menciptakan kehidupan yang demokratis di segala bidang kehidupan.[3]
Berdasarkan realita tersebut, maka pada umumnya penegakan hukum di Indonesia saat ini masih melihat hanya pada prosedur hukum saja yang mana penegakan hukum itu hanya mengacu pada penerapan sistem saja tetapi tidak pada pencapaian tujuan hukum itu sendiri.
Dalam kerangka sistem hukum Nasional, semua yang peraturan perundang-undangan dipandang sebagai satu sistem yang utuh, konsistensi dalam peraturan perundang-undangan dapat disebut sebagai kepastian hukum. Namun dapat dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan itu bukan terjadi dengan sendirinya melainkan harus diciptakan sehingga dapat terjadi tidak konsisten dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.[4] Oleh sebab itu, apabila di lihat dari segi penegakan maka sangat berpengaruh terhadap segi kepastian hukum itu sendiri yang dinilai sangat peka terhadap ketidakadilan.
Menurut Sudikno Mertokusumo, sebagaimana di kutip oleh H. Riduan Syahrani dalam bukunya Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, menyatakan bahwa dalam penegakan hukum di Indonesia ada 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan yaitu[5] :
1)      Kepastian hukum
2)      Kemanfaatan, dan
3)      Keadilan.
Pada dasarnya dalam menegakan hukum perlu di lakukan sebaik mungkin karena dapat menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat maupun bagi bangsa dan negara sendiri. Akan tetapi sebaliknya jika penegakan hukum itu tidak dilaksanakan sebaik mungkin maka akan menimbulkan berbagai konflik antar masyarakat dengan aparat penegak hukum itu sendiri.
Berdasarkan pendapat ahli hukum diatas, maka sedapat mungkin kita memahami dan melihat akan proses penegakakn hukum yang selama ini terjadi di negara kita ini, apakah sudah sesuai dengan kenyataan dan harapaan masyarakat atau belum?

B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini, adalah Bagaimana penegakan hukum di Indonesia dalam perspektif historis?.
C.    TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dalam penulisan ini yaitu : Untuk memahami tentang penegakan hukum di Indonesia dalam perspektif historis.
D.    PEMBAHASAN
1.         Arti Dan Tujuan Hukum
Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, hukum bukanlah suatu skema yang final (finite sceme), namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Karena itu, hukum haru terus dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai keadilan.[6] Berdasarkan pendapat Prof. Satjipto Rahardjo tersebut, maka asumsi dari hukum adalah bahwa :
1.    Hukum dibuat untuk manusia,
2.    Hukum bukanlah institusi yang mutlak dan final (law as process, law in the making).
Nah dengan demikian, apa yang mestinya dilakukan untuk mencapai suatu nilai keadilan yang dapat memaksimalkan penegakan hukum yang ada di Indonesia?.
Menurut Ali Ahcmad, sebagaimana di kutip dalam bukunya Prof. Teguh Prasetyo & Abdul H. Barkatullah, salah satu cara yang terbaik dan efektif adalah membersihkan sosok sapu kotor yang masih bergentayangan di republik ini, sebab mengingat kondisi pemerintah Indonesia dalam situasi transplacement yaitu suatu pemerintahan hasil kombinasi dari pengusaha baru dengan sosok-sosok bagian dari rezim lama yang otoriter.[7]
Sehingga dengan demikian bahwa, sebagai aparat penegak hukum mestinya melakukan suatu proses penegakan haruslah sesuai dengan hati nurani sehingga mesti pula tercipta suatu keadilan bagi semua orang.
Penegakan hukum dan penerapan hukum adalah tugas utama pemerintah yang di serahkan kepada institusi dan aparat penegak hukum yang membutuhkan dukungan masyarakat secara keseluruhan sebagai tempat berlakunya hukum. Artinya bahwa,  penegakan hukum tidak dapat berjalan sendiri, tetapi selalu terkait dengan politik hukum, pembaharuan hukum, sistem hukum dan kesamaan persepsi terhadap hukum yang akan ditegakan.
Nah, berdasarkan pengertian penegakan hukum yang di kemukakan di atas, maka saya mencoba memberi pengertian penegakan sebagai suatu proses dimana ditegakannya  fungsi hukum itu sendiri oleh aparat penegak hukum, dalam hal ini yakni : polisi, jaksa, hakim,  maupun lainnya.
Berbicara mengenai penegakan hukum di Indonesia maka pada dasarnya bahwa hukum bertujuan untuk mencapai keseimbangan agar hubungan yang timbul oleh kepentingan masyrakat tidak terjadi kekacauan. Untuk itulah perlu diketahui tentang apa yang menjadi tujuan hukum.
2.         Perkembangan Penegakan Hukum di Indonesia
Didalam penegakan hukum, dapat juga dilihat dari segi pembangunan hukum itu sendiri. Karena sebagai suatu sistem hukum yang demokratis, maka akan menciptakan pula pembangunan kehidupan yang demokratis.
Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, sebagaimana dikutip dalam bukunya Khudzhaifah Dimyati, bahwa dalam konteks hukum Indonesia, sejak masa kekuasaan hukum kolonial sampaai ke masa-masa sesudahnya merupakan perkembangan yang bergerak kearah pola-pola hukum Eropa.[8] Selanjutnya bahwa, untuk memutua alur perkembangan ini,  berarti memutus hubungan tradisional sebagaimna pernah berkembang dalam sejarah antara Indonesia dengan Belanda, yang sebenarnya juga meliputi berbagai aspek yang sifatnya institusional.
Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili  kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses penerapan hukum sebagaiamana pendapat kaum legalitas. Namun dalam proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih kuat daripada pendapat tersebut karena dalam penegakan hukum akan melibatkan perilaku manusia.
Karena itu, Indonesia yang mana menganut Rule of Law, mestinya tunduk pada imperatif legalitas. Tidak soal apa motif dan materinya, setiap produk legislasi mestilah mencerminkan dua  hakikat  legalitas,[9] ykni :
1.      Sebagai norma yang dibuat rakyat  untuk menilai kewajaran penggunaan kekuasaan penguasa.
2.      Menentukan “garis demarkasi” kehidupan rakyat yang boleha atau tidak  boleh dimasuki oleh kekuasaan penguasa.
Dengan demikian bahwa pemahaman tersebut kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu  menonjol adalah problema “law in action” dan bukan pada “law in the books”.
Menurut Bagir Manan, untuk benar-benar menjamin suatu nilai kepastian suatu peraturan perundang-undangan, selain memenuhi syarat-syarat formal, harulah pula juga memenuhi syarat-syarat lain yaitu : jellas dalam perumusannya (unambiguous); konsisten dalam perumusannya baik secagar interen maupuin ekstern; serta penggunaan bahasa yang tepat dan mudah di mengerti.[10]
3.          Faktor-Faktor Penyebab Lemahnya Penegakan Hukum Di Indonesia
a)    Faktor substansi hukum
Hukum diciptakan oleh lembaga-lembaga yang berwenang, sebagai contoh Undang-undang di buat oleh DPR, dalam menciptakan substansi atau isi hukum tersebut DPR sebagai lembaga yang diberi wewenang harus memperhatikan apakah isi undang-undang itu betul-betul akan memberikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat atau justru di buatnya hukum akan semakin membuat ketidak adilan dan ketidakpastian dan malah merugikan masyarakat. Maka untuk itu substansi hukum sangat penting sekali.
Artinya  bahwa, DPR sebagai legislatif  pembuat UU, sebaiknya harus memperhatikan substansi dari UU tersebut apakah sudah mengandung kepastian hukum serta kemanfaatan bagi masyarakat atau sebaliknya merugikan.
Secara konsepsional, negara Indonesia sudah memiliki begitu banyak peraturan perundang-undangan, akan tetapi apabila di cermati secara seksama maka penegakan dari pada peraturan perundang-undangan tersebut masih jauh dari harapan masyarakat.
Teguh Prasetyo (2013:340-341), menyebutkan kondisi objektif penegakan hukum di Indonesia secara konsepsional menjunjung tinggi supermasi hukum, maka dapat dikatakan bahwa masih jauh dari kenyataan. Ini dikarenakan masih merebaknya penyimpangan terhadap hukum dalam berbagai bentuk korupsi, kolusi, nepotisme, kekerasan, kerusuhan, pembunuhan, dan sebagainya.[11]
Selanjutnya juga dalam praktik ahli hukum lebih menaruh perhatian pada bentuk daripada substansi. Sehingga penegakan hukum di Indonesia mengalami situasi yang mengecewakan seperti yang terjadi dalam khasanah dunia peradilan.[12] Para pakar hukum tidak mampu berbuat banyak karena para penegak hukum selalu mengkonseptualisasikan hukum sebagai hukum negara atau perundang-undangan yang memang dibutuhkan untuk memperlaancar kerja profesi hukum. Dengan demikian, perspektif tentang dunia hukum sangat terkungkung dalam paradigma formalistik.
b)   Faktor Sarana dan Fasilitas.
Tanpa ada fasilitas sarana yang memadai maka tidak mungkin penegakan hukum itu berlangsung juga secara lancar. Sarana yang dimasudkan antara lain dapat berupa tenaga manusia yang berpendidikan yang terampil, maupun peralatan yang memadai serta pula keuangan yang cukup dalam menegakan hukum.
Sebenarnya faktor sarana atau fasilitas ini sangatlah penting karena sangat besar pula pengaruhnya bagi kelancaran pelaksanaan penegakan hukum sangat mudah juga untuk dipahami dan banyak contoh yang dapat dilihat dalam masyarakat.[13]  
Nah, berdasarkan pemahaman diatas maka bahwa lemahnya penegakan di negara Indonesia karena kurangnya sarana dan prasarana yang dapat menunjang dalam menegakan keadilan di daerah-daerah pelosok atau daerah-daerah luar pulau.
c)    Faktor budaya hukum masyarakat
Artinya bahwa penegakan hukum bukanlah diruang hampa, melainkan dilakukan di tengah-tengah masyarakat, maka untuk itu penegakan hukum tidak akan dapat berjalan dengan baik jika masyarakat tidak mendukung, partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan. Dan juga jika ada pelanggaran hukum dapat melaporkan kepada yang berwenang.
Akan tetapi sebaliknya jika masyarakat atau orang ada pada golongan tertentu tidak merespon dengan keadaan yang terjadi di sekitarnya maka penegakan hukum itu sendiri tidak akan maksimal.
Contoh kasus korupsi yang merebak saat ini. Lemahnya penegakan hukum di karena di lakukan oleh orang terbesar yang berada pada pemerintahan sehingga menyulitkan penegakan keadilan karena terjadi suap-menyuap.

E.     PENUTUP
1.      Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan penulisan diatas, maka pada bagian kesimpulan ini, penulis adapat menarik beberapa kesimpulan, yakni :
Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili  kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses penerapan hukum sebagaiamana pendapat kaum legalitas. Namun dalam proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih kuat daripada pendapat tersebut karena dalam penegakan hukum akan melibatkan perilaku manusia. Dengan demikian bahwa pemahaman tersebut kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu  menonjol adalah problema “law in action” dan bukan pada “law in the books”.
Penegakan hukum dan penerapan hukum adalah tugas utama pemerintah yang di serahkan kepada institusi dan aparat penegak hukum yang membutuhkan dukungan masyarakat secara keseluruhan sebagai tempat berlakunya hukum. Artinya bahwa,  penegakan hukum tidak dapat berjalan sendiri, tetapi selalu terkait dengan politik hukum, pembaharuan hukum, sistem hukum dan kesamaan persepsi terhadap hukum yang akan ditegakan.
2.      Saran
a.       Kepada para pihak penegak hukum di Indonesia, dalam hal ini, keoplisian, kejaksaan, maupun hakim agar dalam melaksanakan tugas dan kewenangan dalam melakukan penyedikan agar lebih mengutamakan hati nurani sehingga dapat pula mencapai keseimbangan hukum di mata masyarakat.
b.      Seluruh masyarakat agar bersama-sama saling mendukung pihak penegak hukum sehingga tercapai suatu hukum yang maksimal.





















DAFTAR PUSTAKA
Teguh, Prasetyo & Abdul, Halim Barkattulah, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum - pemikiran menuju masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat. Jakarta, RajaGravindo Persada, 2013.
Syahrani, H. Biduan, Rangkuman Intisari Ilmu Huku,  Bandung, Ctra Aditya Bakti, 2011.
Satjipto, Rahardjo,  Penegakan Hukum Progresif, Jakarta, Kompas, Agustus 2010.
Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 2000
Bernard L Tanya, Hukum, Politik, dan KKN, Surabaya, Srikandi, 2006.
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum:studi tentang perkembangan pemikiran hukum di Indonesia 1945-1990, Surakarta, Mupus, 2005.





[1] H.Biduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2011., hal: 182
[2] Ibid., hal. 184
[3] Ibid hal.314
[4] Teguh Prasetyo & Abdul H. Barkatullah, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum, (Jakarta, Raja Grafindo Persada), 2013, hal. 327
[5] Hal. 181
[6] Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta, Kompas,Agustus 2010
[7] Teguh Prasetyo & Abdul H. Barkatullah, Ibid. Hal. 341
[8] Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum:studi tentang perkembangan pemikiran hukum di Indonesia 1945-1990, Surakarta, Mupus, 2005, hal;18
[9] Bernard L Tanya, Hukum, Politik, dan KKN, Surabaya, Srikandi, 2006, Hal, 50
[10] Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 2000, hal: 225
[11] Ibid, hal.340-341
[12] Khudzaifah Dimyati, 2005, Ibid, hal; 94
[13] H.Biduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2011., hal: 202

1 komentar:

  1. ka, sebaiknya penggunaan kata "nah" dalam penulisan ilmiah dihindari yah.
    Sedikit saran boleh kan?

    BalasHapus