Social Icons

Pages

Minggu, 08 Desember 2013

POLITIK HUKUM DALAM PENYELENGGARAAN NEGARA INDONESIA

MAKALAH AKHIR POLITIK HUKUM











NAMA       : YOSEF ROBERT NDUN
NIM            : 322013020



MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2013



POLITIK HUKUM DALAM
PENYELENGGARAAN NEGARA INDONESIA

A.    Latar Belakang
Setiap manusia di dunia ini selalu mempunyai tujuan hidup. Nah dalam mencapai tujuan hidup tersebut, maka  manusia diproteksi atau  di lindungi oleh suatu ilmu yang disebut sebagai hukum.
Keberadaan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan seluruh mata masyarakat, karena hukum telah menyimpang dari perlindungan kepentingan-kepentingan konstitusional dan tujuan-tujuan sah tindakan negara yang dirancang untuk memperlihatkan struktur hukum yang melekat dalam suatu negara yang demokratis.
Hukum tidak selalu steril dengan subsistem kemasyarakatan lainnya, sehingga seringkali politik hukum melakukan intervensi atas  perbuatan dan  pelaksanaan hukum sehingga muncul juga pertanyaan-pertanyaaan tentang subsistem-subsistem mana  antara hukum dan poliitik yang dalam kenyataan lebih  suprematif.[1]
Hukum selalu bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Sehingga banyak kepentingan-kepentingan masyarakat yang di telantarkan oleh negara. Hak-hak dan kewajiban masyarakat yang ada  pada  seseorang yang hidup dalam masyarakat dianggap tidak sesuai dengan kaidah-kaidah  hukum yang berlaku.
Mencari jawaban tentang apakah hukum itu disebut ilmu atau bukan tidaklah mudah. Salah satu hal yang menyebabkan sulitnya memberikan kepastian tentang jawaban bahwa hukum itu ilmu atau bukan, dikarenakan dalam memberikan arti dan pengertian dari hukum itu sendiri saja oleh para ahli hukum sampai saat ini tidak ada satu kesatuan rumusan. Tetapi hal itu tidak menjadi persoalan, karena bukan pengertian hukumnya yang menjadi sasaran melainkan persoalan hukum itu disebut ilmu atau bukan.
Untuk mengetahui apakah hukum itu disebut ilmu atau bukan, pertama-tama kita harus menjawab pertanyaan apakah yang dimaksud dengan ilmu itu sendiri. Secara garis besar ilmu merupakan pemikiran asosiatif yang memahami kausalitas hakiki dan universal sebagai hasil dan akumulasi pengetahuan dengan menggunakan prosedur sistematis dan metode-metode tertentu. Dengan kata lain ilmu adalah pengetahuan yang sistematis. Atau ilmu itu merupakan sistem.
Nah, dengan demikian maka akan timbul suatu  pertanyaan bagaimana  esensi hukum itu sendiri? Pada dasarnya bahwa hukum itu muncul dalam pengalaman tiap-tiap orang. Yang mana pertama-tama muncul dalamm bentuk kaidah-kaidah yang mengatur hidup bersama. Kaidah-kaidah  itu ada yang berbentuk perintah dan larangan (kaidah imperatif) dan juga  yang berbentuk disposisi (kaidah fakultatif). Kaidah itu ada yang tertulis maupun tidak tertulis.[2]
Pada umumnya  bahwa masyarakat berbeda persepsi pemahaman tentang hokum. Ada yang memandang hokum dari sudut das sollen (suatu  keharusan) atau para idealis berpegang pada pandangan bahwa  hokum harus merupakan pedoman dalam segala tingkat kehidupan  hubungan antar angggota masyarakat termasuk  dalam segala bentuk kegiatan politik. Sedangkan ada juga bahwa yang berpandangan hukum  dari sudut das sein (kenyataan) atau para paham  empiris  melihat secara realita bahwa hukum sangat dipengaruhi oleh politik, bukann saja dalam perbuatannya, tetapi juga  dalam kenyataan-kenyataan yang bersifat empiris.[3]
Dari beberapa pendapat yang telah disebutkan tersebut, menurut penulis bahwa pandangan tersebut tidak bertitik tolak pada pemaknaan hukum dalam arti luas dan mendalam, dalam artian bahwa hukum hanya dilihat dalam pengertian yang abstrak saja dimana hanya terbatas pada hukum positif; padahal hukum juga bisa diliahat dalam dunia nyata atau secara empiris misalnya dengan menggunakan sudut pandang sosiologi, antropologi, sejarah, politik ataupun psikologi. Dari sinilah kita dapat melihat bahwa hukum juga terdiri dari perbuatan-perbuatan yang dapat diamati.
Selanjutnya objek dari ilmu hukum adalah hukum; apakah hukum itu? Jika kita perluas makna hukum dapat kita artikan sebagai alat untuk menjaga keseimbangan pergaulan hidup manusia agar tercipta suasana yang tertib, adil, aman dan damai. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo sebagaimana dikutip oleh R.E.S. Fobia, dalam materi pembekalan bahwa hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa hukum itu bertujuan untuk menghantarkan manusia pada kehidupan yang lebih bermutu; yang adil, sejahtera dan bahagia. Kemudian, untuk mencapai tujuan hidup tersebut diciptakanlah peraturan-peraturan yang akan mengatur tingkahlaku manusia dan pergaulannya, dan untuk menyusun suatu aturan hukum diperlukan metode-metode dan dalam perkembangannya sudah ada metode-metode hukum yang dipakai baik itu secara normatif maupun empiris..
Sesungguhnya  berbicara  mengenai politik hukum, maka sudah sangat jelas dalam suatu groundnorm. Sebagai contoh negara Indonesia bahwa  Pancasila sebagai  norma  dasar cenderung di gunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan dan  lebih menjadi ideology tertutupadalah  karena adanya pendapat bahwa Pancasila berada diatas dan diluar konstitusi. Budaya ini yang meliputi das sein dan das sollen atau dengan kata lain bahwa budaya itu tercermin dalam kenyataan hidup sedemikian mempengaruhi hokum yang berlaku dalam masyarakat, atau jugga degan kata lain dapat dirumuskan bahwa hukum dipengaruhi olehh kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat.[4]

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini, yaitu :
1.      Pengertian dan ruang lingkup politik hukum.
2.      Politik hukum Negara Indonesia.
3.      Mengapa politik hukum sangat diperlukan dalam penyelenggaraan negara.
C.    Tujuan
Tujuan dari penulisann ini yaitu :
1.      Untuk memahami tentang apa itu politik hukum.
2.      Untuk memahami peranan politik hukum dalam penyelenggaran negara Indonesia.




D.    Pembahasan
1.      Pengertian dan Ruang Lingkup Politik Hukum
Definisi atau pengertian politik hukum juga bervariasi. Namun dengan menyakini adanya persamaan substansif antar berbagai pengertian yang ada.
Politik hukum, menurut Padmo Wahyono, merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk . Politik hukum berkaitan dengan hukum yang diharapkan (ius constituendum) Selanjutnya juga, menurut Satjipto Rahardjo, politik hukum diartikan seagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.[5]
Selanjutnya bahwa politik hukum yang sesungguhnya memiliki tujuan mulia yang ingin dicapai masyarakat, bangsa, dan negara. Politik hukum memiliki beban sosial suatu masyarakat, bangsa, dan negara untuk mewujudkan cita-cita bersama. Kebijakan hukum yang dikeluarkan tidak boleh ditunggangi oleh kepentingan pihak tertentu untuk mengabdi pada kepentingannya sendiri.
Berdasarkan pengertian diatas, maka Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Politik Hukum Nasional meliputi :[6]
a.       Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten.
b.      Pembangunan hukum yang intinya adalh pembaharuan terhdap ketentuan hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangn yang terjadi dalam masyarakat.
c.       Penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya.
d.      Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakan.
Identintifikasi terhadap suatu produk hukum akan memperlihatkan kebijakan hukum itu sendiri. Kebijakan hukum itulah, yang oleh beberapa ahli kemudian disebut sebagai politik hukum. Moh. Mahfud MD, Politik Hukum merupakan kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan pemerintah secara nasional. Hal ini mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pemuatan dan penegakan hukum. Hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal  yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen (keinginan, keharusan), melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam das sein (kenyataan) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasiya dan penegakannya.[7]
Berdasarkan pengertian politik hukum diatas, maka yag menjadi ruang lingkup politik hukum, yaitu :
1.      Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dalam masyrakat oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum.
2.      Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi tersebut ke dalam bentuk sebuah rancangan peraturan perundang-undangan oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum.
3.      Penyelenggara negara yang berwenang merumuskan dan menetapkan politik hukum.
4.      Peraturan perundang-undangan yang memuat politik hukum.
5.      Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik hukum, baik yang akan, sedang dan telah ditetapkan.
6.      Pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang merupakan implementasi dari politik hukum suatu negara.
2.      Politik Hukum Negara Indonesia.
Berbicara mengenai politik hukum diIndonesia, maka sangatlah memprihatinkan keberadaan tujuan daripada politik hukum itu sendiri, karena hukum telah menyimpang dari perlindungan kepentingan-kepentingan konstitusional dan tujuan-tujuan sah tindakan negara yang dirancang untuk memperlihatkan struktur hukum yang melekat dalam suatu negara yang demokratis.
Politik hukum negara Indonesia seharusnya dilandaskan pada Pancasila dan UUD 1945, karena  merupakan dasar pembentukan negara Indonesia. Begitupun juga merupakan dasar penerapan, serta pelaksanaan politik hukum itu  sendiri. Selanjutnya menurut Prof. Teguh Prasetyo, bahwa Pancasila sebagai staatsfundamental (norma fundamental negara) maka Pancasila harus  dilihat sebagai cita hukum (rechtside) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengaruskan pembentukan suatu  hukum positif adalah untuk mencapai  ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk  menguji hukum positif.[8]
Selanjutnya menurut Bernard L Tanya Tanya, hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, selain berpijak pada lima dasar (Pancasila), juga harus berfungsi dan selalu berpijak pada empat prinsip cita hukum (rechtsidee), yakni:[9]
a)      Melindungi semua unsur bangsa (nation) demi keutuhan (integrasi).
b)      mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan kemasyarakatan.
c)      mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum (nomokrasi).
d)     menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan berkeadaban dalam hidup beragama.
Dalam perspektif formal, politik hukum negara Indonesia dapat dilihat dalam GBHN Tahun 1993 yang mana menetapkan berbunyi “Terbentuk dan berfungsinya sistem hukum yang mantap, bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, dengan memperhatikan kemajemukan tata hukum yang berlaku, yang mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan, dan pertinmbanagan hukum yang mendukung  pembangunan  Nasional, yang didukung oleh aparatur  hukum, sarana dan  prasarana yang memadai serta masyarakat yang ada dan taat hukum.[10]
Mulyana W Kusumah mengemukakan bahwa, dari rumusan GBHN terlihat  bahwa adanya penonjolan fungsi instrumental hukum sebagai sarana kekuasaan politik dominan yang lebih terasa dari pada fungsi-fungsi lainnya. Ini terlihat dari pencerminan hukum sebagai kondisi dari proses pembangunan serta juga sebagai penopang yang tangguh atas struktur politik, ekonomi, dan sosial. Berdasarkan hal tersebut, maka hubungan antara hukum dan politik menimbulkan dilema. Sehingga hukum senantiasa dipengaruhi oleh perkembangan politik massa, kelas menengah, dan elit.[11]
Inilah yang sering terjadi diIndonesia, bahwa stuktur hukum kaitannya dengan  perkembangan politik hukum dalam konfigurasi politik dan sistem pemerintahan, fungsi hukum hanya dapat berkembang secara baik saat ada peluang yang leluasa bagi partisipasi politik massa, sehingga ketika peran politik disominasi oleh kaum elit penguasa, maka fungsi hukum berkembanng sangat lamban.
Selanjutnya menurut Lawrence Rosen, sebagaimana dikutip oleh H. Biduan Syahrani, bahwa untuk mencapai suatu pendayagunaan pranata-pranata hukum agar berkembang dalam  masyarakat, maka ada tiga  dimensi yakni:[12]
a)      hukum harus sebagai cermin dan wahana bagi konsep-konsep yang berbeda mengenai tertib dan kesejateraan social.
b)      Hukum dalam peranannya  sebagai pranat otonom dapat pula merupakan pembatas kekuasaan sewenang-wenang.
c)      Hukum dapat didayagunakan sebagai sarana untuk mendukung dan  mendorong perubahan-perubahan sosial dan politik.
Nah dengan demikian, maka kesimpulan untuk mencapai suatu tujuan politik hukum yang maksimal diIndonesia maka seharusnya didasarkan pada  nilai-nilai kasih sayang (compation).
3.      Peranan Politik Hukum dalam Penyelenggaraan Negara.
Peranan politik hukum dalam penyelenggaraan negara sangat diperlukan karena dalam menata sebuah negara yang demokrasi mestinya mempunyai berbagai  tujuan tertentu.
Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, sebagaimana dikutip oleh R.E.S.Fobia dalam kuliah Politik Hukum pasca sarjana UKSW Salatiga, bahwa politik hokum sebagai legal policy yang telah ditentukan atau akan dilakukan oleh Pemerintah Nasional Indonesia, mempunyai tujuan sebagai berikut :
a)      Pembangunnan hukum, yang menyangkut pembuatan materi-materi hokum serta  pembaharuan materi agar lebih menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
b)      Pelaksanaan berbagain ketentuann hukum termasuk penegakan fungsi lembaga penegak hukum dan pembinaan para penegak  hukum.
Sehingga dengan demikian sebagai asumsi dasar dari politik  hukum yaitu :
1.      Politik hukum dasar pijakan yang sangat kuat yang mana ditetapkan oleh negara harus juga memiliki visi, misi, dan tujuan yang akan dicapai oleh negara tersebut.
2.      Kebijakan hukum yang diambil merupakan penjabaran lebih lanjut  sebagai arahan bagi  suatu negara untuk melakukan review-review terhadap ketentuan hukum yang ada.
3.      Agar  seluruh proses tersebut terlaksana dengan baik.

E.     Penutup
a.      Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, maka yang menjadi kesimpulan dari penulisan ini yaitu :
1.      Politik Hukum merupakan kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan pemerintah secara nasional. Oleh sebab itu esensi dari hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal  yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen (keinginan, keharusan), melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam das sein (kenyataan) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasiya dan penegakannya.
2.      Terbentuk dan berfungsinya sistem hukum yang mantap, bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, dengan memperhatikan kemajemukan tata hukum yang berlaku, yang mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan, dan pertinmbanagan hukum yang mendukung  pembangunan  Nasional, yang didukung oleh aparatur  hukum, sarana dan  prasarana yang memadai serta masyarakat yang ada dan taat hukum.
3.      Perkembangan politik hukum dalam konfigurasi politik dan sistem pemerintahan, fungsi hukum hanya dapat berkembang secara baik saat ada peluang yang leluasa bagi partisipasi politik massa, sehingga ketika peran politik disominasi oleh kaum elit penguasa, maka fungsi hukum berkembanng sangat lamban.
b.      Saran
1.      Kepada pemerintah agar untuk mencapai suatu tujuan politik hukum yang maksimal diIndonesia maka seharusnya didasarkan pada  nilai-nilai kasih sayang (compation).
2.      Semua elemen pemerintah maupun masyarakat  agar sebaiknya dalam pemaknaan tentang suatu tujuan politik hukum jangan  hanya pada das sollen (suatu keinginan, keharusan) tetapi juga sebagai das sein (suatu kenyataan).




















DAFTAR PUSTAKA

Mahfud MD, Politik hukum di Indoneisa, Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia, 2006.         
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,  Jakarta, Cetakan ke-IV, 2009.
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum, Yogyakarta, Kanisius, 1995.
Prasetyo, Teguh & Abdul H Barkaktullah, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2013.
H Biduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2011.
http://paulusmtangke.wordprees,com/politik-hukum-nkri/    




[1] Mahfud MD, Politik hukum di Indoneisa, jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia, 2006, hal:1
[2] Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Yogyakarta, Kanisius, 1995, hal:15-16
[3] Mahfud MD, Politik hukum di Indonesia, cetakan ke-IV, Raja Grafindo Persada, hal:16
[4] Teguh Prasetyo & Abdul H Barkaktullah, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2013, hal;379-380
[5] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,  cetakan ke-IV, 2009, hal:1
[6] Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, Surabaya, LBH, 1985.
[7] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,  cetakan ke-III, 2006, hal:1-2
[8] Teguh Prasetyo & Abdul H Barkatullah, Ibid, hal: 384
[10] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 2009, hal: 18-19
[11] Ibid, hal:19-20
[12] H Biduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2011, hal:30-31

Selasa, 03 Desember 2013

PENEGAKAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF HISTORIS

MAKALAH AKHIR SEJARAH HUKUM


                     


                                                                   




Oleh


          NAMA       :YOSEF ROBERT NDUN
          Nim            :322013020



MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2013


PENEGAKAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF HISTORIS
A.    PENDAHULUAN
Pada era sekarang nilai penegakan hukum dipandang sangat memprihatinkan dimata masyarakat, karena aparat penegak hukum tidak melakukan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat pada umumnya. Dan dianggap bahwa tidak mencapai nilai keadilan.
Melihat perkembangan penegakan hukum yang telah terjadi pada masa sekarang sangatlah membawa suatu pemahaman yang sangat berbeda dengan harapan kita. Mengapa demikian, karena penegakan hukum yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang di rumuskan dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 serta Pancasila, yang sebagaimana menjadi falsafah negara kita Indonesia.
Seperti kita ketahui bersama bahwa dalam setiap orang menginginkan dapat ditetapkannya suatu hukum yang mana dapat memaksimalkan setiap masalah konkret yang sering terjadi. Hukum harus didilaksanakan dan ditegakkan. Bagaimana hukumnya, itulah yang harus diberlakukan pada setiap peristiwa yang terjadi sehingga tidak terjadi penyimpangan.[1]
Berbicara mengenai penegakan hukum yang ada di Indonesia tidak terlepas dari sejarah yang telah berjalan cukup lama. Hukum yang ada di Indonesia tersebut berasal dari Negara Belanda, yang dulu pernah menjajah Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, bahwa Indonesia telah mengadopsi hukum yang berasal dari negara Belanda tersebut.  sebab itu pada penegakannya juga selalu mengikuti pola pemikiran yang menjadi tradisi dari pemerintahan kolonial Belanda.
Hukum yang berlaku di Indonesia saat ini masih banyak yang merupakan peninggalan warisan kolonial Belanda, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (wetboek van Strafrecht), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Kitab Undang-undang Hukum Dagang (wetboek van Koophandel), Hukum Acara Perdata (yang termuat dalam Herziene inlandsch Reglement dan Rechstreglement voor de Buitengewesten) yang lazimnya disebut hukum-hukum pokok (basic law). Yang mana dibuat sedikit banyak atau keseluruhan untuk kepentingan penjajah atas falsafah kapitalistis, materialistis, dan individualis, maka peraturan-peraturan hukum tersebut tidak selamanya sesuai dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia yang sekarang sudah berada di alam kemerdekaan dan pembangunan.[2]
Selanjutnya bahwa hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum agama, dan hukum adat. Sehingga dapat dikatakan bahwa dapat terjadi benturan antara sistem yang satu dengan sisetem yang lain. Menurut Raz, sebagaimana dikutip dalam bukunya Prof. Teguh Prasetyo & Abdul H. Barkatullah, sebagai salah satu sistem, hukum akan mempengaruhi kinerja sistem-sistem yang lain dalam kehidupan bernegara. Sehinggga apabila negara yang sistem hukumnya demokratis maka akan menciptakan kehidupan yang demokratis di segala bidang kehidupan.[3]
Berdasarkan realita tersebut, maka pada umumnya penegakan hukum di Indonesia saat ini masih melihat hanya pada prosedur hukum saja yang mana penegakan hukum itu hanya mengacu pada penerapan sistem saja tetapi tidak pada pencapaian tujuan hukum itu sendiri.
Dalam kerangka sistem hukum Nasional, semua yang peraturan perundang-undangan dipandang sebagai satu sistem yang utuh, konsistensi dalam peraturan perundang-undangan dapat disebut sebagai kepastian hukum. Namun dapat dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan itu bukan terjadi dengan sendirinya melainkan harus diciptakan sehingga dapat terjadi tidak konsisten dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.[4] Oleh sebab itu, apabila di lihat dari segi penegakan maka sangat berpengaruh terhadap segi kepastian hukum itu sendiri yang dinilai sangat peka terhadap ketidakadilan.
Menurut Sudikno Mertokusumo, sebagaimana di kutip oleh H. Riduan Syahrani dalam bukunya Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, menyatakan bahwa dalam penegakan hukum di Indonesia ada 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan yaitu[5] :
1)      Kepastian hukum
2)      Kemanfaatan, dan
3)      Keadilan.
Pada dasarnya dalam menegakan hukum perlu di lakukan sebaik mungkin karena dapat menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat maupun bagi bangsa dan negara sendiri. Akan tetapi sebaliknya jika penegakan hukum itu tidak dilaksanakan sebaik mungkin maka akan menimbulkan berbagai konflik antar masyarakat dengan aparat penegak hukum itu sendiri.
Berdasarkan pendapat ahli hukum diatas, maka sedapat mungkin kita memahami dan melihat akan proses penegakakn hukum yang selama ini terjadi di negara kita ini, apakah sudah sesuai dengan kenyataan dan harapaan masyarakat atau belum?

B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini, adalah Bagaimana penegakan hukum di Indonesia dalam perspektif historis?.
C.    TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dalam penulisan ini yaitu : Untuk memahami tentang penegakan hukum di Indonesia dalam perspektif historis.
D.    PEMBAHASAN
1.         Arti Dan Tujuan Hukum
Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, hukum bukanlah suatu skema yang final (finite sceme), namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Karena itu, hukum haru terus dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai keadilan.[6] Berdasarkan pendapat Prof. Satjipto Rahardjo tersebut, maka asumsi dari hukum adalah bahwa :
1.    Hukum dibuat untuk manusia,
2.    Hukum bukanlah institusi yang mutlak dan final (law as process, law in the making).
Nah dengan demikian, apa yang mestinya dilakukan untuk mencapai suatu nilai keadilan yang dapat memaksimalkan penegakan hukum yang ada di Indonesia?.
Menurut Ali Ahcmad, sebagaimana di kutip dalam bukunya Prof. Teguh Prasetyo & Abdul H. Barkatullah, salah satu cara yang terbaik dan efektif adalah membersihkan sosok sapu kotor yang masih bergentayangan di republik ini, sebab mengingat kondisi pemerintah Indonesia dalam situasi transplacement yaitu suatu pemerintahan hasil kombinasi dari pengusaha baru dengan sosok-sosok bagian dari rezim lama yang otoriter.[7]
Sehingga dengan demikian bahwa, sebagai aparat penegak hukum mestinya melakukan suatu proses penegakan haruslah sesuai dengan hati nurani sehingga mesti pula tercipta suatu keadilan bagi semua orang.
Penegakan hukum dan penerapan hukum adalah tugas utama pemerintah yang di serahkan kepada institusi dan aparat penegak hukum yang membutuhkan dukungan masyarakat secara keseluruhan sebagai tempat berlakunya hukum. Artinya bahwa,  penegakan hukum tidak dapat berjalan sendiri, tetapi selalu terkait dengan politik hukum, pembaharuan hukum, sistem hukum dan kesamaan persepsi terhadap hukum yang akan ditegakan.
Nah, berdasarkan pengertian penegakan hukum yang di kemukakan di atas, maka saya mencoba memberi pengertian penegakan sebagai suatu proses dimana ditegakannya  fungsi hukum itu sendiri oleh aparat penegak hukum, dalam hal ini yakni : polisi, jaksa, hakim,  maupun lainnya.
Berbicara mengenai penegakan hukum di Indonesia maka pada dasarnya bahwa hukum bertujuan untuk mencapai keseimbangan agar hubungan yang timbul oleh kepentingan masyrakat tidak terjadi kekacauan. Untuk itulah perlu diketahui tentang apa yang menjadi tujuan hukum.
2.         Perkembangan Penegakan Hukum di Indonesia
Didalam penegakan hukum, dapat juga dilihat dari segi pembangunan hukum itu sendiri. Karena sebagai suatu sistem hukum yang demokratis, maka akan menciptakan pula pembangunan kehidupan yang demokratis.
Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, sebagaimana dikutip dalam bukunya Khudzhaifah Dimyati, bahwa dalam konteks hukum Indonesia, sejak masa kekuasaan hukum kolonial sampaai ke masa-masa sesudahnya merupakan perkembangan yang bergerak kearah pola-pola hukum Eropa.[8] Selanjutnya bahwa, untuk memutua alur perkembangan ini,  berarti memutus hubungan tradisional sebagaimna pernah berkembang dalam sejarah antara Indonesia dengan Belanda, yang sebenarnya juga meliputi berbagai aspek yang sifatnya institusional.
Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili  kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses penerapan hukum sebagaiamana pendapat kaum legalitas. Namun dalam proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih kuat daripada pendapat tersebut karena dalam penegakan hukum akan melibatkan perilaku manusia.
Karena itu, Indonesia yang mana menganut Rule of Law, mestinya tunduk pada imperatif legalitas. Tidak soal apa motif dan materinya, setiap produk legislasi mestilah mencerminkan dua  hakikat  legalitas,[9] ykni :
1.      Sebagai norma yang dibuat rakyat  untuk menilai kewajaran penggunaan kekuasaan penguasa.
2.      Menentukan “garis demarkasi” kehidupan rakyat yang boleha atau tidak  boleh dimasuki oleh kekuasaan penguasa.
Dengan demikian bahwa pemahaman tersebut kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu  menonjol adalah problema “law in action” dan bukan pada “law in the books”.
Menurut Bagir Manan, untuk benar-benar menjamin suatu nilai kepastian suatu peraturan perundang-undangan, selain memenuhi syarat-syarat formal, harulah pula juga memenuhi syarat-syarat lain yaitu : jellas dalam perumusannya (unambiguous); konsisten dalam perumusannya baik secagar interen maupuin ekstern; serta penggunaan bahasa yang tepat dan mudah di mengerti.[10]
3.          Faktor-Faktor Penyebab Lemahnya Penegakan Hukum Di Indonesia
a)    Faktor substansi hukum
Hukum diciptakan oleh lembaga-lembaga yang berwenang, sebagai contoh Undang-undang di buat oleh DPR, dalam menciptakan substansi atau isi hukum tersebut DPR sebagai lembaga yang diberi wewenang harus memperhatikan apakah isi undang-undang itu betul-betul akan memberikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat atau justru di buatnya hukum akan semakin membuat ketidak adilan dan ketidakpastian dan malah merugikan masyarakat. Maka untuk itu substansi hukum sangat penting sekali.
Artinya  bahwa, DPR sebagai legislatif  pembuat UU, sebaiknya harus memperhatikan substansi dari UU tersebut apakah sudah mengandung kepastian hukum serta kemanfaatan bagi masyarakat atau sebaliknya merugikan.
Secara konsepsional, negara Indonesia sudah memiliki begitu banyak peraturan perundang-undangan, akan tetapi apabila di cermati secara seksama maka penegakan dari pada peraturan perundang-undangan tersebut masih jauh dari harapan masyarakat.
Teguh Prasetyo (2013:340-341), menyebutkan kondisi objektif penegakan hukum di Indonesia secara konsepsional menjunjung tinggi supermasi hukum, maka dapat dikatakan bahwa masih jauh dari kenyataan. Ini dikarenakan masih merebaknya penyimpangan terhadap hukum dalam berbagai bentuk korupsi, kolusi, nepotisme, kekerasan, kerusuhan, pembunuhan, dan sebagainya.[11]
Selanjutnya juga dalam praktik ahli hukum lebih menaruh perhatian pada bentuk daripada substansi. Sehingga penegakan hukum di Indonesia mengalami situasi yang mengecewakan seperti yang terjadi dalam khasanah dunia peradilan.[12] Para pakar hukum tidak mampu berbuat banyak karena para penegak hukum selalu mengkonseptualisasikan hukum sebagai hukum negara atau perundang-undangan yang memang dibutuhkan untuk memperlaancar kerja profesi hukum. Dengan demikian, perspektif tentang dunia hukum sangat terkungkung dalam paradigma formalistik.
b)   Faktor Sarana dan Fasilitas.
Tanpa ada fasilitas sarana yang memadai maka tidak mungkin penegakan hukum itu berlangsung juga secara lancar. Sarana yang dimasudkan antara lain dapat berupa tenaga manusia yang berpendidikan yang terampil, maupun peralatan yang memadai serta pula keuangan yang cukup dalam menegakan hukum.
Sebenarnya faktor sarana atau fasilitas ini sangatlah penting karena sangat besar pula pengaruhnya bagi kelancaran pelaksanaan penegakan hukum sangat mudah juga untuk dipahami dan banyak contoh yang dapat dilihat dalam masyarakat.[13]  
Nah, berdasarkan pemahaman diatas maka bahwa lemahnya penegakan di negara Indonesia karena kurangnya sarana dan prasarana yang dapat menunjang dalam menegakan keadilan di daerah-daerah pelosok atau daerah-daerah luar pulau.
c)    Faktor budaya hukum masyarakat
Artinya bahwa penegakan hukum bukanlah diruang hampa, melainkan dilakukan di tengah-tengah masyarakat, maka untuk itu penegakan hukum tidak akan dapat berjalan dengan baik jika masyarakat tidak mendukung, partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan. Dan juga jika ada pelanggaran hukum dapat melaporkan kepada yang berwenang.
Akan tetapi sebaliknya jika masyarakat atau orang ada pada golongan tertentu tidak merespon dengan keadaan yang terjadi di sekitarnya maka penegakan hukum itu sendiri tidak akan maksimal.
Contoh kasus korupsi yang merebak saat ini. Lemahnya penegakan hukum di karena di lakukan oleh orang terbesar yang berada pada pemerintahan sehingga menyulitkan penegakan keadilan karena terjadi suap-menyuap.

E.     PENUTUP
1.      Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan penulisan diatas, maka pada bagian kesimpulan ini, penulis adapat menarik beberapa kesimpulan, yakni :
Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili  kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses penerapan hukum sebagaiamana pendapat kaum legalitas. Namun dalam proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih kuat daripada pendapat tersebut karena dalam penegakan hukum akan melibatkan perilaku manusia. Dengan demikian bahwa pemahaman tersebut kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu  menonjol adalah problema “law in action” dan bukan pada “law in the books”.
Penegakan hukum dan penerapan hukum adalah tugas utama pemerintah yang di serahkan kepada institusi dan aparat penegak hukum yang membutuhkan dukungan masyarakat secara keseluruhan sebagai tempat berlakunya hukum. Artinya bahwa,  penegakan hukum tidak dapat berjalan sendiri, tetapi selalu terkait dengan politik hukum, pembaharuan hukum, sistem hukum dan kesamaan persepsi terhadap hukum yang akan ditegakan.
2.      Saran
a.       Kepada para pihak penegak hukum di Indonesia, dalam hal ini, keoplisian, kejaksaan, maupun hakim agar dalam melaksanakan tugas dan kewenangan dalam melakukan penyedikan agar lebih mengutamakan hati nurani sehingga dapat pula mencapai keseimbangan hukum di mata masyarakat.
b.      Seluruh masyarakat agar bersama-sama saling mendukung pihak penegak hukum sehingga tercapai suatu hukum yang maksimal.





















DAFTAR PUSTAKA
Teguh, Prasetyo & Abdul, Halim Barkattulah, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum - pemikiran menuju masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat. Jakarta, RajaGravindo Persada, 2013.
Syahrani, H. Biduan, Rangkuman Intisari Ilmu Huku,  Bandung, Ctra Aditya Bakti, 2011.
Satjipto, Rahardjo,  Penegakan Hukum Progresif, Jakarta, Kompas, Agustus 2010.
Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 2000
Bernard L Tanya, Hukum, Politik, dan KKN, Surabaya, Srikandi, 2006.
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum:studi tentang perkembangan pemikiran hukum di Indonesia 1945-1990, Surakarta, Mupus, 2005.





[1] H.Biduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2011., hal: 182
[2] Ibid., hal. 184
[3] Ibid hal.314
[4] Teguh Prasetyo & Abdul H. Barkatullah, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum, (Jakarta, Raja Grafindo Persada), 2013, hal. 327
[5] Hal. 181
[6] Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta, Kompas,Agustus 2010
[7] Teguh Prasetyo & Abdul H. Barkatullah, Ibid. Hal. 341
[8] Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum:studi tentang perkembangan pemikiran hukum di Indonesia 1945-1990, Surakarta, Mupus, 2005, hal;18
[9] Bernard L Tanya, Hukum, Politik, dan KKN, Surabaya, Srikandi, 2006, Hal, 50
[10] Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 2000, hal: 225
[11] Ibid, hal.340-341
[12] Khudzaifah Dimyati, 2005, Ibid, hal; 94
[13] H.Biduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2011., hal: 202