BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Dewasa
ini bangsa Indonesia sedang menghadapi reformasi yang berlebihan, sehingga sering
memunculkan keluhan tentang serangkaian aturan yang dianggap kurang demokratis (baik
dalam hal formal maupun informal) agar menjadi suatu aturan yang demokratis.
Selain hal tersebut sistem demokratis bisa juga diukur misalnya dari peranan
partai politik dan standar penampilan politiknya yang dalam hal ini yakni partisipasi warga negara dalam
pemilihan, stabilitas pemerintahan dan terjaminnya tata tertib masyarakat.
Hal
yang demikian bukan baru saja terjadi pada era reformasi ini, akan tetapi sudah
berlangsung sejak Pemerintahan era Orde Baru. Kesenjangan politik yang selalu
membelit setiap penyelesaian permasalahan baik itu yang bersifat procedural
selalu diintervensi oleh kepentingan politik. Menurut Bernard L Tanya, bahwa suatu
penyelesaian kepentingan politik itu di back-up
aturan hukum, itu namanya memperalat hukum, bukan menyelesaikan hukum. Sehingga
ini selalu menjadi kerancuan hukum dengan politik sehingga ini membuat rakyat
semakin ricuh terhadap hukum dan Pemerintah.
Melihat
konteks karate politik yang demikian, maka dapat dikatakan bahwa ini merupakan
suatu budaya politik yang sudah keluar dari sistem demokrasi yang telah
berlangsung di negara Indonesia. Adapun sistem demokrasi yang telah berlangsung
di bangsa Indonesia bahwa bangsa Indonesia sedang diuji dengan suatu
kreativitas dan inventivitas sejak kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal inilah
yang menjadikan sebagai suatu kebudayaan. Kebudayaan yang dimaksudkan yakni
sebagai wahana hidup sekaligus menghidupakan serta selalu membutuhkan energi
baru dalam menghadapi tantangan zaman
yang akan terus berubah. Walaupun tanpa disadari bahwa transisi budaya tersebut
terasa kompleks dan sangatlah rumit.
Karateristik
kebudayaan demikian sangatlah tidak merupakan suatu kebijakan yang berdasarkan
pada keadaan masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum yang demikian
tidaklah merupakan suatu karakter hukum yang responsif.
Adapun
karakter hukum responsif adalah prodak hukum yang mencerminkan rasa keadilan
dan memenuhi harapan masyarakat.
Dengan demikian maka dalam proses pembuatan suatu kebijakan haruslah memberikan
peranan besar dan partisipasi penuh dari kelompok – kelompok sosial atau
individu yang ada dalam masyarakat.
Pengembaraan
dalam mencari hukum responsif telah menjadi kegiatan teori hukum modern yang
terus berkelanjutan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jerome Frank, tujuan utama
kaum realisme hukum adalah untuk membuat hukum “menjadi lebih responsif
terhadap kebutuhan sosial”. Hukum yang baik seharusnya menawarkan sesuatu yang
lebih baik daripada sekedar keadilan prosedural. Hukum yang baik harus
berkompeten dan juga adil, hukum semacam itulah yang seharusnya mampu mengenali
keinginan publik dan punya komitmen bagi tercapainya keadilan subtantif.
Berbicara
mengenai konsep hukum yang responsif yang adil, maka tentunya juga harus
dilandasi pada konsep negara hukum. Karena pada dasarnya negara Indonesia
adalah negara hukum yang selalu dilandasai pada Pancasila dan UUD 1945.
Selanjutnya
menurut Nonet dan Selznick, bahwa hukum responsif berusaha untuk mengatasi
ketegangan. Untuk menunjukan suatu kapasitas produk kebijakan yang beradaptasi
dan bertanggung jawab maka harus selektif pula kebijakan tersebut. sehingga
dengan demikian untuk menjawab pernyataan di atas, maka dibutuhkan suatu
kelembagaan yang responsif pula. Ini dikarenakan bahwa lembaga responsif
menganggap tekanan-tekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan
untuk melakukan koreksi diri.
Negara
Indonesia ialah Negara Kesatuan,
yang berbentuk Republik dan adalah negara hukum.
Dengan demikian maka terkait pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah
merujuk pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam pasal 5 ayat (1)
dan pasal 20 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 diketahui bahwa Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
memiliki hak untuk membentuk Undang-Undang yang merujuk pada pasal 2
dan pasal 3 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang dimana Pancasila dan UUD 1945 menjadi
sumber hukum Negara dan merupakan hukum dasar dalam peraturan
perundang-undangan dalam setiap rancangan pembentukan peraturan
perundang-undangan.
Berbicara
mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, maka sebagai suatu contoh
pembentukan yang mana dapat dilihat sebagai bentuk produk yang responsif atau
sebalik, yakni Undang-udang Nomor. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Pearturan
Perundang-undangan di Indonesia. Hal ini didasari dari penggantian atas UU No.
10 Thn 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (yang lama).
Adapun
dalam UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ini,
salah dua asas yang terpenting dalam terkandung dalamnya adalah asas
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat dan asas kebangsaan. Yang
dimaksudkan dengan asas ini yaitu bahwa setiap jenis peraturan
perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga Negara atau pejabat pembentuk
peraturan perundang-undangan yang berwenang.
Asas ini dirasakan merupakan suatu konsep kebijakan yang menunjukan suatu
karakter hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Serta
asas kebangsaan, yaitu bahwa stiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap
menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan asas ini maka hal ini menunjukan prinsip dasar dari negara
Indonesia yang selalu mengedepankan demokrasi dalam setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Hal
yang dimaksudkan disini bahwa dalam pembentukan Undang-undang tersebut di atas,
tercantum hal-hal yang dapat dilihat sebagai suatu konsep pembentukan yang
dapat mencirikan karakter hukum yang terkandung dalam Undang-undang tersebut.
Konsep-konsep
pembentukan peraturan perundang-undangan inilah yang dapat menyatakan suatu
konsep mengenai karakter hukum yang responsif atau sebaliknya merupakan
karakter hukum ortodoks.
1.2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian
latar belakang di atas, maka adapun rumusan masalah dari tulisan ini yakni Bagaimana dasar pijak dan karakter hukum
yang terkandung dalam produk UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia?.
1.3.
Tujuan
Penulisan
Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Politik Hukum dan ingin lebih
mengetahui lagi tentang ilmu yang terkandung dalam Politik Hukum serta untuk
mengetahui desain karakterisitik hukum responsif yang terkandung dalam
Undang-undang Nomor 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan
perundang-undangan di Indonesia serta Negara Indonesia agar tercapai hukum
responsif dan juga merupakan penguatan hukum di Negara Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
Hukum merupakan
produk politik yang memandang hukum itu sendiri sebagai suatu kristalisasi atau
formalisasi dari kehendak – kehendak politik yang saling berinteraksi dan
saling bersaingan. Dalam hal ini karakter produk hukum di Indonesia terdiri
atas dua bagian yaitu produk hukum responsif yang mana produk hukum yang
mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat dan yang kedua produk
hukum yang ortodoks yaitu produk hukum yang isinya lebih mencerminkan isi
sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah.
Selain
itu hukum juga berkaitan erat dengan kekuasaan karena tata hukum senantiasa
terikat pada status quo. Tata hukum tersebut tidak mungkin ada jika tidak
terikat pada satu tata tertentu yang menyebabkan hukum mengefektikan kekuasaan.
Jika demikian maka pihak yang berkuasa dengan baju otoritasnya mempunyai
kewenangan yang sah menuntut warga negara agar mematuhi kekuasaan yang bertahta.
Nonet
dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat,
yaitu: (1) hukum sebagai pelayanan kekuasaan refresif, (hukum represif), (2)
hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan refresi dan
melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan (3) hukum sebagai fasilitator
dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).
Menurut
Nonet dan Selznick, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja
merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan
tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib
politik. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai
model perkembangan (developmental model). Di antara ketiga tipe hukum
tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya hukum responsif yang
menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan
dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada
konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko
kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas
yang lebih besar.
Berdasarkan argumentasi di atas, maka
mengenai inti tulisan ini maka penulis akan menjabarkan beberapa sub sebagai
berikut :
A. Dasar
Pijak Politik Hukum Di Indonesia
Berbicara mengenai dasar pijak politik
hukum di Indonesia, maka tentunya akan dipahami pula apa yang dimaksudkan
dengan politik hukum. Dengan kata lain bahwa dalam politik hukum akan dapat dipahami
dalam dasar kebijakan dari suatu kebijakan peraturan. Sehingga dengan demikian
maka dalam memahami politik hukum, tentunya dapat diketahui lebih dulu dalam
dasar kebijakan tersebut.
Adapun yang menjadi dasar pemikiran di
sini bahwa :
1.
Politik
hukum sebagai suatu kebijakan yang ditetapkan oleh negara harus memiliki dasar
pijakan sehingga terdapat jelas memuat visi dan misi serta tujuan yang akan
dicapai oleh negara.
2.
Bahwa
kebijakan hukum merupakan penjabaran lebih lanjut sebagai suatu arahan bagi suatu
negara untuk melakukan review terhadap ketentuan hukum yang ada baik itu
perbaikan hukum atau pencabutan suatu produk hukum karena sisi sosiologisnya
bertentangan.
3.
Bahwa
untuk memperlancar proses kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan ketiga dasar pemikiran
tersebut di atas, mengenai memahami dasar pemikiran bahwa suatu peraturan
tentunya tidak terlepas dari Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan Fundamentalnorm, atau yang the founding father, yang selalu menjadi
dasar dari setiap pembentukan kebijakan hukum di Indonesia.
Adapun dalam memahami mengenai dasar
pijak dari setiap pembentukan peraturan perundang-undangan, hal pokok yang
terdapat dalam dasar pijak pembentukan produk hukum tersebut. hal yang
dimaksudkan disini bahwa mengenai basis filosofis, basis ideologi dan basis
normatif, basis konstitusi, basis moral etis, dan basis sosiologis.
1.
Basis
Filosofis
Adapun mengenai basis filosofis,
bahwa memberikan suatu landasan bahwa politik hukum yang terkandung di dalamnya
harus mencerminkan nilai-nilai ideal kemana cita-cita luhur kehidupan berbangsa
dan masyarakat hendak diarahkan. Cita-cita yang dimaksudkan tentunya harus di
landasi pada Pancasila dan UUD 1945.
Menurut Teguh Prasetyo,
Pancasila sebagai cita negara (staatsidee)
dan sebagai pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia kemudian
disistematisasikan dan dimasyarakatkan kembali melalui penyebarluasan serta
pelaksanaannya agar dapat pancasila disebut sebagai ideologi yang memenuhi
syarat sebagai pandangan hidup.
Selanjutnya salah 1 (satu) syarat
dari 3 (syarat) yang dipenuhi oleh Pancasila sebagai suatu ideologi menurut
Teguh Prasetyo, yakni : realitas, : bahwa nilai-nilai yang
terkandung dalam ideologi Pancasila mencerminklan realitas yang tumbuh dan
berkembang dalam masyrakat. Ideologi harus memberikan citra bahwa dirinya
adalah kenyataan dalam masyarakat itu sendiri.
Nilai-nilai yang terkandung itu
mencerminkan pula cita hukum yang baik. Cita hukum mempunyai arti bahwa pada
hakikatnya hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat yang berakar pada
gagasan, rasa, karsa, cipta, dan pikiran dari masyarakat itu sendiri.
Selanjutnya cita hukum Pancasila dapat dipahami sebagai bangunan berpikir yang
mengarahkan hukum kepada cita-cita yang dicita-citakan oleh masyrakat.
Dengan demikian maka hal inipun
berkaitan dengan asas kenegaraan yang terkandung di dalam UU No. 12 Thn 2011
tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan. Hal ini mencerminkan bahwa di
dalam UU No. 12 Thn 2011 tersebut mengandung suatu cita-cita hukum yang memang
di inginkan dalam kehidupan berbangsa dan masyarakat.
2.
Basis
Ideologis
Adapun tujuan pokok yang dapat
dicermati dalam basis ideologis yang terkandung suatu pembentukan suatu produk
hukum yakni :
a. Sebagai
perangkat nilai-nilai dan gagasan-gagasan dan konsep-konsep melalui mana dan
apa, serta bagaimana manusia (masyarakat) dapat memahami tentang hukum itu.
b. Sebagai
bintang pemandu sehingga dipandang dari isi dan arah politik hukum dalam
negara.
c. Mengarahkan
kebijakan dengan tujuan yang ingin dicapai.
Berdasarkan
tujuan yang terkandung dalam basis ideologis yang diuraikan di atas, maka dalam
mencermati pembentukan UU No. 12 Thn 2011 dapat dijelaskan bahwa pembentukan
ini dilandasi pada Pancasila dan UUD 1945 yang mana didasari pada hukum yang
demokratis.
Demokratis
yang dimaksudkan disini bahwa ketika pembentukan Undang-undang ini memang
dengan tujuan untuk menjawab kebutuhan dan tuntutan dalam sistem pembentukan
peraturan perundang-undangan di Indonesia.
3.
Basis
Normatif
Basis normative yang dimaksudkan
bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasari pada suatu
kenyataan (das Sollen). Basis normative berbicara tentang apa yang seharusnya
sehingga menilai kenyataan sekaligus merubah kearah yang seharusnya. Atau
dengan kata lain bahwa merubah menjadi lebih baik, yakni menjadi benar dan
adil.
Kenyataan yang diharapkan itu
merupakan bentuk dari suatu cita-cita pembentukan produk hukum itu sendiri.
Dengan dmeikian maka dalam pembentukan tentunya sudah menjadi kenyataan
sebelumnya yang dijadikan sebagai suatu dasar pemikiran bahwa kenyataan yang
akan dicapai pasti tercapai.
Tetapi tentu pula bahwa tidak dapat
dipungkiri bahwa dengan kepentingan politik yang selalu mengintervensi dalam
pembentukan suatu produk hukum kadang selalu tidak diharapkan. Atau dengan kata
lain bahwa seringkali keluar dari kenyataan.
Mendasari pada pemikiran diatas,
maka ketika mencermati UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, maka tentunya ini memang didasari pada kenyataan bahwa
ketika masih dalam pemberlakuan UU No. 10 Thn 2004 tentang Pembentukan
peraturan Perundang-undangan yang lama ternyata masih terjadi banyak kejanggalan-kejanggalan
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Hal ini sangat jelas jelas terdapat
dalam konsideran UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan bahwa dalam UU No. 10 terdapat banyak kekurangan dan belum
dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik sehingga perlu diganti.
Melihat konteks ini maka dapat dikatakan
bahwa hal ini memang memehuni asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, yang mengamantkan
bahwa memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, bernegara dan bernegara.
4.
Basis
Konstitusi
Yang dimaksudkan dengan basis
konstitusi bahwa berkaitan erta dengan landasan yuridis. Basis kontitusi yang
dimaksudkan disini bahwa pembentukan produk hukum didasari pada Pasal-pasal
yang ada dalam UUD 1945 yang merupakan dasar pembentukan peraturan di
Indonesia.
Adapun basis konstitusi tercantum
dalam konsideran “Mengingat” setiap pembentukan perundang-undangan. Dalam konsideran
tersebut secara jelas akan memuat Pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan
suatu rujukan dalam pembentukan perundang-undangan tersebut.
Memahami konteks pemikiran
tersebut, maka ketika memahami UU No. 12 Thn 2011 maka hal inipun tercantum
dengan jelas bahwa yang dijadikan sebagai rujukan dalam UUD 1945 yakni Pasal
20, Pasal 21, dan pasal 22A UUD 1945.
Dengan demikian konsep politik
hukum maka hal ini sejalan dengan asas kesesuaian antara jenis dan dan materi
muatan yang menjadi asas pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Adapun yang dimaksudkan dengan asas
kesesuaian antara jenis dan materi muatan yakni bahwa dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang
tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya.
Hal
ini sejalan dengan pengertian politik hukum menurut mahfud MD, bahwa politik
hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang
hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian
hukum yang lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.
5.
Basis
Moral Etis
Mengenai basis moral etis yang
terkandung dalam politik hukum, maka tentunya inipun sangat selalu diperhatikan
karena hal ini memang sangat bersinggungan dengan politik hukum mengani
kebijakan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Adapun yang dimaksudkan dengan
basis moral etis yakni bahwa hal ini berkaitan erat dengan sikap moral dari
para pembentuk perundang-undangan tersebut. disinilah moral yang selalu
dikedepankan agar benar-benar pembentukan UU tersebut memang menuntun pada apa
yang diharapkan oleh masyarakat.
Menyangkut basis ini, bahwa yang
dimasudkan yakni pengambilan keputusan oleh pembentuk disadari pada kesadaran
moral etis yang dapat dipertanggungjawabkan, serta para pembentuk juga harus
bisa mengalahkan naluri kepentingan dirinya sendiri, keluarganya, kepentingan
kelompok, maupun agamanya.
Mendasari pada pemikiran Jimly
Assihiddiqie tersebut, maka ketika mencermati UU No. 12 Thn 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka dapat dikatakan bahwa dapat
dikatakan bahwa basis ini terpenuhi karena di dalam pembentukan inipun, dapat
dicermati bahwa unsur-unsur yang terkandung di dalamnya untuk seluruh
perundang-undang, baik itu di pusat sampai pada daerah-daerah. Dengan demikian
maka hal ini memang tidak ada kepentingan individu yang mengintervensi.
Walaupun tidak dapat dipungkiri
bahwa tidak ada intervensi kepentingan politik dalam pembentukan UU ini. karena
tidak dapat dijelaskan dengan jelas. Akan tetapi diluar daripada itu, penulis
berpandangan bahwa pembentukan ini sesuai dengan basis moral etis.
Hal lain yang menjadi dasar
pemikiran penulis bahwa materi pembentukan UU ini sesuai dengan asas
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Sebagaimana asas yang terkandung
dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Adapun yang dimaksudkan dengan asas
keseimbangan, keserasian dan keselarasan yakni bahwa materi muatan yang
terkandung dalam setiap peraturan perundang-undangan arus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu dan
masyarakat dengan kepentingan banngsa dan negara.
Hal
ini sejalan dengan pengertian politik hukum menurut mahfud MD, bahwa politik
hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang
hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan
penggantian hukum yang lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.
Tujuan yang dimaksudkan bahwa
adanya kesimbangan, kesersian dan keselarasan dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Sehingga dalam pembentukan perundang-undanganpun haruslah
mengutamakan asas ini.
6.
Basis
Sosiologis
Adapun mengenai basis sosiologis
atau yang lebih sering disebut sebagai landasan sosiologis dalam konsideran
setiap perundang-undangan. Basis ini memang sangat penting karena berhubungan
erat dengan kehidupan sosial di dalam setiap kehidupan masyarakat.
Yang dimasudkan dalam basis ini
bahwa dalam pembentukan perundang-undangan, hal yang sangat diperhatikan yakni
bukan hanya keadaan riil bangsa Indonesia tetapi juga Internasional juga harus
diperhatikan.
Selain itu juga bahwa hal lain yang
perlu diperhatikan yakni mempertimbangkan aspek empiris yang didasarkan pada
kesadaran hukum masyarakat Indonesia.
Kedua hal ini memang sangat penting
karena segi sosial yang diperhatikan sehingga hal ini tidak mudah. Hal ini pun
bisa dapat dimanfaatkan oleh kepentingan politik dari luar. Misalnya
kepentingan negara-negara lain dalam mengintervensi pembentukan
perundang-undangan yang ada dalam negara Indonesia.
Dengan memperhatikan kedua aspek
penting yang ada maka tentunya pula dalam pembentukan perundang-undangan yang
ada, seharusnya disinilah sikap moral dari setiap pembentuk Undang-undang
haruslah bisa keluar dari segala kekangan kepentingan luar.
Memang tanpa disadari pula bahwa
hal ini bisa terlepas dari sikap moral para pembentuk Undang-undang. Sehingga
dengan demikian maka tentunya disinilah sejatinya hukum responsive diterapkan
bagi para pembentuk Undang-undang.
Adapun alasan karena mengenai hukum
responsive yakni menurut
Nonet dan Selznick, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja
merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan
tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib
politik. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai
model perkembangan (developmental model).
Di
antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya
hukum responsif yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil.
Dengan anggapan inilah, penulis berpendapat bahwa memang pada dasarnya basis
sosiologis sangatlah penting yang selalu diperhatikan karena didalamnya akan
terlihat jelas karakter hukum ang ada dalam pembentukan Undang-undang.
Selain itu juga hal ini sinkron
dengan sistem demokrasi yang dianut oleh Bangsa Indonesia. Bahwa yang diyakini
demokrasi merupakan “tolak ukur yang tak terbantahkan dari suatu keabsahan politik”.
Sehingga hal tersebut memunculkan keyakinan bahwa kehendak rakyat adalah dasar
utama kewenangan pemerintah menjadi basis bagi tegak kokohnya sistem politik
demokrasi.
Dengan mendasari pemikiran pada uraian di atas, maka dalam
mencermati dan memahami pembentukan UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan maka dapat penulis berpendapat bahwa basis ini
jelas teradapat dalam pembentukan UU ini. hal ini dikarenakan bahwa dalam
pembentukan UU ini karena disadari bahwa UU No. 10 Thn 2004 sudah tidak
memenuhi berbagai permasalahan yang terjadi sehingga perlu dirubah.
Hal lain bahwa ketika UU ini dibentuk tentunya disadari pada
sistem demokrasi yang berlangsung di negara Indonesia. Dengan melihat konteks
pemikiran ini, penulis dapat pula berpendapat bahwa hal ini akan sejalan dengan pengertian politik hukum
menurut mahfud MD, bahwa politik hukum adalah legal policy atau
garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan
pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum yang lama, dalam rangka
mencapai tujuan negara.
Tujuan negara yang dimaksudkan yakni bahwa sangat relevan dengan
asas Bhineka Tunggal Ika yang terkandung dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Adapun yang dimasudkan dengan asas ini yakni
bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman
penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya
yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Melihat konteks ini semua maka dapat penulis berpendapat bahwa
semua hal ini sangat bersinggungan dengan basis sosiologis, karena menyangkut
kehidupan seluruh masyarakat Indonesia. Dengan demikian maka basis ini juga
sangat penting untuk selalu diperhatikan, karena apabila tidak maka akan
menimbulkan banyak pertentangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal
ini sejalan dengan pengertian politik hukum menurut mahfud MD, bahwa politik
hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang
hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan
penggantian hukum yang lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.
Tujuan negara yang dimaksudkan
bahwa kehidupan ketentraman yang selalu diidamkan oleh seluruh rakyat
Indonesia. Hal inilah pun juga sangat jelas terkandung dalam Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa Indonesia. Adapun tujuan hukum yang dapat dikemukakan
disini bahwa tujuan hukum mempunyai sifat universal seperti ketertiban, ketenteraman, kedamaian,
kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat.
Sehingga dengan adanya hukum maka tiap perkara dapat di selesaikan melaui
proses pengadilan dengan prantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku, selain itu hukum juga bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap
orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri.
B.
KARAKTERISTIK
UU NOMOR 12 Thn 2011
Memahami kembali pembahasan sub A,
maka untuk membahas karateristik hukum yang terkandung dalam UU No. 12 Thn 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yakni akan dilandasi dengan pemikiran
mengenai hukum responsif.
Adapun pemikiran yang didirunut
dari pembahasan sub-A diatas, yang mana dapat dijadikan suatu argument hukum
serta menguatkan pembahasan sub-B ini. begitupun tidak terlepas dari
pemikiran-pemikiran mengenai karakter hukum di Indonesia.
Adapun setelah mengenai
pemikiran-pemikiran tersebut, akan disinkronkan dengan karakter hukum
responsive sesuai dengan pandangan hukum menurut Phillip Nonet dan Philip
Selznick. Adapun menurut Nonet dan Selznick, bahwa dalam menemukan suatu hukum
yang responsive mestinya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain
: kedaulatan tujuan, kewajiban dan kesopanan, partisipasi hukum dan partisipasi
politik, serta keadilan menuju kompetensi. Adapun mengenai hal-hal ini adalah
sebagai berikut :
1. Kedaulatan
tujuan.
Adapun sejatinya kedaulatan tujuan
yang dimaksudkan bahwa generalisasi hukum terhadap sejumlah produk peraturan,
kebijakan dan prosedur tertentu sehingga dapat digunakan. Perangkat-perangkat
hukum haruslah pula dihormati sebagai sekumpulan pengalaman mengenai definisi
tatanan hukum.
Mendasari pada pemikiran ini, maka
dalam mencermati UU No. 12 Thn 2011 dapat diketahui bahwa sebagaimana dengan
yang telah diuraikan diatas dalm sub –A, maka dapat dikatakan dapat sesuai
dengan kedaulatan tujuan. Hal ini sangat erat karena pemikiran karena dalam
pembentukan UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, sangatlah jelas bahwa dengan suatu tujuan penting
demokratis yakni untuk mampu menjawab kesenjangan-kesenjangan yang terjadi
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Hal ini sangatlah merespon terhadap
kebutuhan hukum yang terjadi di Indonesia. Hal inipun diilhami dari adanya
kelemahan-kelemahan yang ada dalam UU sebelumnya. Sehingga perlunya dirubah
untuk menjawab kebutuhan hukum tersebut.
Konteks pemikiran ini sangatlah
jelas, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya sesuai dengan tujuan
pembentukan yang tersirat dalam konsideran mengingat UU No. 12 Thn 2011 tentang
Pembentukan peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
2. Kewajiban
dan kesopanan
Yang dimaksudkan oleh Nonet dan
Selznick bahwa adanya pertentangan dari penilaian akan memanifestasi hukum
dalam pertimbangan-pertimbangan yang dapat menunjukan suatu perkembangan sistem
yang maju, maka dibutuhkan suatu logika terhadap penilaian hukum tersebut yang
harus sesuai dengan logika moral dan praktis.
Esensi ini jelas terlihat pada
praktek aparat penegak hukum tersebut. adapun lebih khususnya pada pengadilan
yang mana sesuai dengan porsinya sebagai penegakan yang final.
Dengan keadaan tersebut, maka
mengenai pemikiran Nonet dan Selznick terkait menjawab suatu kewajiban dan
kesopanan dalam hukum responsive, bahwa dalam mengakui kompleksitas penilaian hukum
dan mengendurkan klaim terhadap kepatuhan, hukum resposif mengacu pada suatu
nilai ideal yang lebih besar. Dalam kondisi ini maka hukum responsive membawa
suatu janji akan kesopanan kedalam cara hukum digunakan untuk mendefinisikandan
memelihara ketertiban hukum.
Kembali merunut pada UU No. 12 Thn
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka hal ini sangat
dirasakan sulit untuk dikonsepkan. Adanya realita kejanggalan-kejanggalan yang
terjadi belakangan yang mana bahwa adanya permasalahan-permasalahan yang
terajadi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia belakangan
ini yang mana sering rancu dan tanpa disadari banyak dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi.
Keadaan konkrit inilah, menurut
penulis bahwa pada dasarnya dalam pembentukan UU No. 12 Thn 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sudah sesuai dengan apa yang
diharapkan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia, akan tetapi begitu banyak juga
adanya kepentingan-kepentingan politik yang selalu memanivestasi kepentingannya
dalam penegakan hukumnya.
Dengan mendasari asumsi tersebut di
atas, maka hemat penulis bahwa dalam memahami UU No. 12 Thn 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tentunya sudah sesuai dengan karakter
hukum responsive. Akan tetapi dalam penegakannya masih seringa kurang mendasari
pada suatu kesopanan dalam parktisnya.
3. Partisipasi
hukum dan partisipasi politik.
Memahami konsep pemikiran Nonet dan
Selznick mengenai partisipasi hukum dan partisipasi politik, hal ini dilandasi
pada akibat melemahnya kewajiban hukum dalam pembagian otoritas hukum yang
luas. Ketika sistem hukum memperluas sumber-sumber kritisnya, disitu juga
mendelegasikan banyak diskresi untuk memutuskan hal-hal yang otoritatif. Hal
inilah yang menjadikan partisipasi hukum dengan aktifnya agar mampu menjangkau
pembuatan dan interpretasi kebijakan hukum.
Dengan demikian maka dapat
dikatakan bahwa partisipasi hukum diharapkan agar dapat pula menjangkau
partisipasi politik. Kedua hal ini sangatlah berkaitan erat serta saling
membutuhkan agar dengan tujuan tercapainya suatu karakter hukum yang responsive
terhadap kebutuhan masyarakat dan bangsa Indonesia.
Melandasi pemikiran pada uraian
diatas, maka adapun pendapat penulis bahwa UU No. 12 Thn 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sudah mengamanatkan akan partisipasi
hukum dalam pembentukan UU tersebut. hal yang menjadi pemikiran penulis bahwa,
ketika pembaharuan hukum terhadap UU yang lama menjadi UU yang baru ini, disini
jelas adanya partisispasi hukum yang sangat mendasar untuk mencapai suatu pola
pembentukan yang lebih baik.
Selanjutnya pula bahwa mengenai
partisipasi politik, hal ini sebagaimana sama dengan pemikiran yang sudah
diuraikan di poin sebelumnya bahwa dalam penegakan hukumnya tidak dapat
dipungkiri adanya intevensi politik. Namun hal ini menurut penulis bahwa tidak
berkaitan dengan pembentukan UU ini.
Yang menjadi asumsi dasar dalam
penulisan ini bahwa dalam pembentukan UU ini, sudah jelas adanya partisipasi
hukum dan partisipasi politik yang saling berkaitan sehingga dalam
pembentukannya jelas tidak ada kepentingan-kepentingan kalangan luar yang
mengintervensi kedaulatan pembentukan UU ini.
4. Keadilan
menuju kompetensi
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
suatu leegitimasi pasti adanya suatu kepentingan. Atau dengan kata adanya suatu
tujuan dari pembentukan hukum tersebut. akan tetapi hal tersebut tidak
merupakan kompetensi, melainkan merupakan perhatian sentral hukum otonom. Hal
ini sejalan dengan pemikiran Nonet dan Selznick, bahwa proses legitimasi
hanyalah suatu sentral hukum otonom yang mana dikarenakan adanya kebutuhan akan
hukum sehingga dinterpretasi pembentukannya oleh para pembentuk produk hukum
tersebut.
Dengan pemikiran tersebut, maka
menurut Nonet dan Selznick bahwa pada tahap ini, urusan utama hukum adalah
mempertegas otoritas pengaturan dan keputusan, dan bukan untuk memastikan bahwa
institusinya memiliki kehendak dan kompetensi untuk melaksanakan mandatnya.
Adapun maksud yang dapat dipahami
terkait pandangan pemikiran Nonet dan Selznick bahwa disiniliah hukum mestinya
membawa keadilan dalam pembentukannya, bukan hanya berpangkal pada pemikiran
mandate legitimasi mengenai kompetensinya saja.
Dengan mendasari pemikiran tersebut,
maka dalam memahami pemntukan UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, maka dapat dikatakan bahwa sudah mengamanatkan karakter
hukum responsive. Karena di dalam pembentukannya UU ini, terdapat pula politik
hukum yang dengan jelas mengedepankan nilai-nilai serta asas keadilan.
Hal ini jelas terdapat dalam UU
ini, sebagaimana sesuai dengan pembahasan-pembahasan sub –A sebelumnya.
Nilai-nilai serta asas yang terkandung didalam UU ini salah satunya adalah asas
keadilan.
BAB
3
KESIMPULAN
Berdasarkan pokok-pokok pembahasan
yang telah di uraian diatas, maka adapun kesimpulan yang dapat diberikan dalam
penulisan adalah sebagai berikut :
1. Sistem
hukum yang ada di Indonesia selalu mengalami perubahan karakter. Perubahan yang
dimaksudkan bahwa mengikuti pula pola atau tekanan dari politik yang sedang
berlangsung di Indonesia pula. Karakter yang dapat mampu memberikan harapan
atas kenyataan bagi masyarakat dan bangsa Indonesia,
2.
Dalam mengetahui suatu pemikiran
dalam pembentukan produk hukum, maka tentunya akan dilihat dalam dasar pijak
dalam pembentukan produk hukum tersebut. adapun dasar pijak yang dapat di
ketahui yakni : (1) Basis filosofis, (2) Basis
ideologi, (3) Basis normatif, (4) Basis konstitusi, (5) Basis moral etis, dan
(6) Basis sosiologis. Basis-basis inilah yang menentukan pemikiran mengenai
kearah mana serta tujuan pembentukan produk hukum tersebut.
3. Karakter hukum yang terkandung dalam UU
No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sangat dapat
dikatakan bahwa memiliki karakter hukum responsive. Karena pemikiran-pemikiran
yang dapat dipahami dalam UU No. 12 Thn 2011 tersebut sangatlah didasari pada
suatu pembaharuan hukum terhadap kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dalam UU
yang lama.
DAFTAR
PUSTAKA
Tanya, Bernard L.,
Hukum,Politik, dan KKN, Srikandi,
Surabaya, Cetakan Pertama, 2006.