Social Icons

Pages

Featured Posts

Rabu, 26 Agustus 2015

Sepintas tentang Undang-undang Perkawinan (UU No.1 tahun 1974)



Ringkasan Materi Undang-Undang Perkawinan (UU No.1 Thn 74)
Oleh : Yosef Robert Ndun, SH. MH.
1.       Pasal 1 tentang pengertian perkawinan
2.       Pasal 2 tentang sahnya perkawinan, bila menurut hukum dan agama masing2.
3.       Pasal selanjutnya tentang akibat hukum dari perkawinan : hubungan antara suami-istri, ortu-anak, dan kekayaan dlm perkawinan yang sah.
4.       Sedangkan kaibnat dari perkawinan yang tidak sah : anak yang lahir hanya punya hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, dan tidak ada harta bersama.
Perjanjian Perkawinan
1.       Ada perjanjian yg dibuat oleh kedua pihak di depan pegawai pencatat perkawinan.
2.       Selama perkawinan itu, surat perjanjian tersebut juga tdak dapat di rubah, sepanjang tidak ada persetujuan bersama kedua pihak.
Hak & Kewajiban suami-istri
1.       Suami-istri memikul kewajiban yang sama atas rumah tangganya.
2.       Sama2 berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3.       Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
4.       Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
5.       Jika sama2 lalai, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan.
Harta Benda dalam Perkawinan
1.       Semua yg diperoleh dalam perkawinan jadi = harta bersama.
*. Bagaimana cara mengetahui itu semua, bila salah satu pihak menyangkal?
*. Apakah saksi (orang lain) bisa memiliki kekuatan yang kuat?
Akibat terjadinya PERCERAIAN
1.       Kejahatan/kenakalan yang sukar di sembuhkan.
2.       Salah satu pihak meninggalkan pihak lain 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dan tanpa alasan yang sah.
3.       Karena kejahatan (pidana) yang dapat membahayakan pihak lain.
4.       Karena salah satu pihak cacat badan/penyakit yg tidak bs sembuh.
5.       Terjadinya perselisihan yang tidak bisa di harapkan dlm rumah tangga.
*. Perceraian, hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, bila sudah tidak ada hasil damai oleh kedua pihak.

Kedudukan Anak dalam Perkawinan
1.       Anak yang lahir dalam perkawinan :
a.       ibu hamil setelah nikah/kawin
b.      ibu hamil sebelum nikah, baru melahirkan setelah perkawinan.
2.       Anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan : istri hamil, lalu suami meninggal. Setelah itu baru istri melahirkan.
*. Bagaimana dengan anak yang lahir diluar nikah?
Tanggapi dari putusan MK, yang menyatakan anak luar nikah juga mempunyai hak atas harta bersama…!!!!!!!!! – Hal ini bertolak belakang dengan Pasal 43 “Anak yg lahir diluar nikah, hnya punya hubungan perdata dgn ibu dan keluarga ibunya”.
Adapun hal ini tidak sejalan dengan Pasal2 lain dlm UU ini, halmana mengatakan bahwa :
1.       Pasal 45 “kedua ortu wajib memelihara dan mendidik anaknya”
2.       Berdasarkan pasal 48 ke-atas…. “meskipun ortu dicabut kekuasaanya (bila ada putusan pengadilan untuk mencabut kuasa ortu atas anak), namun mereka (ortu) tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut”.
*. Hal ini bagaimana?

Harapan saya, kiranya banyak masukan saran & kritik agar menjadi suatu tambahan ilmu bagi kita semua, manakala melihat banyak terjadi sengketa perdata "perceraian" belakangan ini dengan berbagai perdebatan publik baik dengan adanya banyak perbedaan putusan2 hakim..

Sekian dan terima kasih.....
                                                                              Salam Persahabatan

Rabu, 05 Agustus 2015

CERPEN “AKU DIBALIK WAKTU”



CERPEN : “AKU DIBALIK WAKTU”
1 Maret 2015
Tentunya setiap manusia memiliki sejarah kehidupan. Sejarah yang dimulai dari masa sejak lahir sampai pada suatu waktu harus kembali keakhirat. Baik itu kehidupan yang penuh dengan susah maupun senang. Jenjang waktu tersebut itulah yang dimaknai sebagai sejarah hidup. Dan hal itu pula terjadi dalam “aku” sebagai seorang manusia.
Alkisah, pada 26 Juni 1987 silam, “aku” dilahirkan. “Aku”, terlahir dari sebuah keluarga sederhana. Junus Ndun adalah seorang ayah yang adalah seorang petani yang sehari-hari harus berangkat kesawah, menghabiskan waktunya hanya untuk menafkahi keluarga, dan Margarite Ndun seorang ibu yang hanya berpekerjaan sebagai ibu rumah tangga.
Sejak masa kecil, “aku” dididik dengan gaya kehidupan sederhana. Hal inipun sampai dengan kehidupan dalam dunia pendidikan. Sejak berada di bangku Sekolah Dasar pada tahun 1993, aku sudah terbiasa dengan gaya hidup sededrhana. Dan sampai pada masa remaja manakala duduk di bangku sekolah tingkat SLTP tahun 1999. Dengan gaya kehidupan sederhana ini, akupun terkadang kurang mendapatkan teman.
Dengan kondisi sederhana tersebut, tidak menyurutkan niat “aku” untuk tetap belajar. Dan pada tahun 2002 masuk bangku Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Pada jenjang ini “aku” mulai menemukan kehidupan sedikit senang. Dan “aku” mulai disenangi dan mendapatkan banyak teman karena masuk dalam kategori siswa pintar. Dan ini menjadi motivasi bagi “aku” untuk tetap belajar dan belajar.
Setelah menamatkan SLTA tahun 2005, “aku” belum langsung melanjutkan pendidikan ke level Universitas karena banyak pertimbangan menyangkut biaya. Hal ini membuatku untuk berhenti sejenak untuk berdagang hasil bumi antar kota dalam provinsi seraya membantu ayah dan ibu mencari rejeki. ± 3 tahun “aku” berada dalam dunia tersebut. dan akhirnya pada tahun 2008 “aku”pun dapat melanjutkan pendidikan selanjutnya pada Universitas Kristen Artha Wacana – Kupang.
Pada jenjang ini, “aku” memiliki semangat belajar yang luar biasa. Aku selalu menjadi aktor dalam kelas saat perkuliahan. Hal ini ditandai dengan nilai dan IP semester yang diatas rata-rata 3,25. Dan akhirnya “aku” pada tahun 2013 dinyatakan lulus sebagai seorang Sarjana Hukum pada 17 Agustus 2013 dengan IPK 3,40.
Setelah lulus, ini belum menurutkan niatku untuk berhenti belajar. Dan pada tanggal 26 September 2013, “aku” masuk perkuliahan sebagai mahasiswa magister di Universitas Kristen Satya Wacana – Salatiga. Dengan semangat kuliah dan belajar yang sangat tinggi “aku”pun hanya dengan kisaran waktu 1 tahun 4 bulan 4 hari dinyatakan lulus sebagai seorang Magister Ilmu Hukum pada tanggal 31 Januari 2015 dengan gelar Magister Hukum (MH) dengan IPK 3,63.
“Aku” adalah Yosef Robert Ndun. Dengan panggilan Robert. Seorang anak dari 5 bersaudara yang berasal dari kalangan keluarga sederhana, namun tidak pernah putus asa, berkecil hati, malu dan patah semangat dalam meraih ilmu pendidikan.

Selasa, 17 Februari 2015

Desain Strategis Pelembagaan Karakter Politik Demokratis Dalam Rangka Pembudayaan Hukum Responsif Dan Penguatan Negara Hukum Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.           Latar Belakang
Dewasa ini bangsa Indonesia sedang menghadapi reformasi yang berlebihan, sehingga sering memunculkan keluhan tentang serangkaian aturan yang dianggap kurang demokratis (baik dalam hal formal maupun informal) agar menjadi suatu aturan yang demokratis. Selain hal tersebut sistem demokratis bisa juga diukur misalnya dari peranan partai politik dan standar penampilan politiknya yang dalam hal ini yakni partisipasi warga negara dalam pemilihan, stabilitas pemerintahan dan terjaminnya tata tertib masyarakat.[1]
Hal yang demikian bukan baru saja terjadi pada era reformasi ini, akan tetapi sudah berlangsung sejak Pemerintahan era Orde Baru. Kesenjangan politik yang selalu membelit setiap penyelesaian permasalahan baik itu yang bersifat procedural selalu diintervensi oleh kepentingan politik. Menurut Bernard L Tanya, bahwa suatu penyelesaian kepentingan politik itu di back-up aturan hukum, itu namanya memperalat hukum, bukan menyelesaikan hukum. Sehingga ini selalu menjadi kerancuan hukum dengan politik sehingga ini membuat rakyat semakin ricuh terhadap hukum dan Pemerintah.[2]
Melihat konteks karate politik yang demikian, maka dapat dikatakan bahwa ini merupakan suatu budaya politik yang sudah keluar dari sistem demokrasi yang telah berlangsung di negara Indonesia. Adapun sistem demokrasi yang telah berlangsung di bangsa Indonesia bahwa bangsa Indonesia sedang diuji dengan suatu kreativitas dan inventivitas sejak kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal inilah yang menjadikan sebagai suatu kebudayaan. Kebudayaan yang dimaksudkan yakni sebagai wahana hidup sekaligus menghidupakan serta selalu membutuhkan energi baru dalam menghadapi tantangan  zaman yang akan terus berubah. Walaupun tanpa disadari bahwa transisi budaya tersebut terasa kompleks dan sangatlah rumit.[3]
Karateristik kebudayaan demikian sangatlah tidak merupakan suatu kebijakan yang berdasarkan pada keadaan masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum yang demikian tidaklah merupakan suatu karakter hukum yang responsif.
Adapun karakter hukum responsif adalah prodak hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat.[4] Dengan demikian maka dalam proses pembuatan suatu kebijakan haruslah memberikan peranan besar dan partisipasi penuh dari kelompok – kelompok sosial atau individu yang ada dalam masyarakat.
Pengembaraan dalam mencari hukum responsif telah menjadi kegiatan teori hukum modern yang terus berkelanjutan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jerome Frank, tujuan utama kaum realisme hukum adalah untuk membuat hukum “menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan sosial”. Hukum yang baik seharusnya menawarkan sesuatu yang lebih baik daripada sekedar keadilan prosedural. Hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil, hukum semacam itulah yang seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen bagi tercapainya keadilan subtantif.[5]
Berbicara mengenai konsep hukum yang responsif yang adil, maka tentunya juga harus dilandasi pada konsep negara hukum. Karena pada dasarnya negara Indonesia adalah negara hukum yang selalu dilandasai pada Pancasila dan UUD 1945.
Selanjutnya menurut Nonet dan Selznick, bahwa hukum responsif berusaha untuk mengatasi ketegangan. Untuk menunjukan suatu kapasitas produk kebijakan yang beradaptasi dan bertanggung jawab maka harus selektif pula kebijakan tersebut. sehingga dengan demikian untuk menjawab pernyataan di atas, maka dibutuhkan suatu kelembagaan yang responsif pula. Ini dikarenakan bahwa lembaga responsif menganggap tekanan-tekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan untuk melakukan koreksi diri.[6]
Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan[7], yang berbentuk Republik dan adalah negara hukum[8]. Dengan demikian maka terkait pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah merujuk pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam pasal 5 ayat (1)[9] dan pasal 20 ayat (1)[10] Undang-Undang Dasar 1945 diketahui bahwa Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat memiliki hak untuk membentuk Undang-Undang yang merujuk pada pasal 2[11] dan pasal 3 ayat (1)[12] Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang dimana Pancasila dan UUD 1945 menjadi sumber hukum Negara dan merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan dalam setiap rancangan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Berbicara mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, maka sebagai suatu contoh pembentukan yang mana dapat dilihat sebagai bentuk produk yang responsif atau sebalik, yakni Undang-udang Nomor. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Pearturan Perundang-undangan di Indonesia. Hal ini didasari dari penggantian atas UU No. 10 Thn 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (yang lama).
Adapun dalam UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ini, salah dua asas yang terpenting dalam terkandung dalamnya adalah asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat dan asas kebangsaan. Yang dimaksudkan dengan asas ini yaitu bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga Negara atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang.[13] Asas ini dirasakan merupakan suatu konsep kebijakan yang menunjukan suatu karakter hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Serta asas kebangsaan, yaitu bahwa stiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.[14] Berdasarkan asas ini maka hal ini menunjukan prinsip dasar dari negara Indonesia yang selalu mengedepankan demokrasi dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Hal yang dimaksudkan disini bahwa dalam pembentukan Undang-undang tersebut di atas, tercantum hal-hal yang dapat dilihat sebagai suatu konsep pembentukan yang dapat mencirikan karakter hukum yang terkandung dalam Undang-undang tersebut.
Konsep-konsep pembentukan peraturan perundang-undangan inilah yang dapat menyatakan suatu konsep mengenai karakter hukum yang responsif atau sebaliknya merupakan karakter hukum ortodoks.

1.2.            Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka adapun rumusan masalah dari tulisan ini yakni Bagaimana dasar pijak dan karakter hukum yang terkandung dalam produk UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia?.
1.3.            Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Politik Hukum dan ingin lebih mengetahui lagi tentang ilmu yang terkandung dalam Politik Hukum serta untuk mengetahui desain karakterisitik hukum responsif yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan di Indonesia serta Negara Indonesia agar tercapai hukum responsif dan juga merupakan penguatan hukum di Negara Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN

Hukum merupakan produk politik yang memandang hukum itu sendiri sebagai suatu kristalisasi atau formalisasi dari kehendak – kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan. Dalam hal ini karakter produk hukum di Indonesia terdiri atas dua bagian yaitu produk hukum responsif yang mana produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat dan yang kedua produk hukum yang ortodoks yaitu produk hukum yang isinya lebih mencerminkan isi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah.
Selain itu hukum juga berkaitan erat dengan kekuasaan karena tata hukum senantiasa terikat pada status quo. Tata hukum tersebut tidak mungkin ada jika tidak terikat pada satu tata tertentu yang menyebabkan hukum mengefektikan kekuasaan. Jika demikian maka pihak yang berkuasa dengan baju otoritasnya mempunyai kewenangan yang sah menuntut warga negara agar mematuhi kekuasaan yang bertahta.[15]
Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu: (1) hukum sebagai pelayanan kekuasaan refresif, (hukum represif), (2) hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan refresi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan (3) hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).
Menurut Nonet dan Selznick, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model). Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya hukum responsif yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih besar.
Berdasarkan argumentasi di atas, maka mengenai inti tulisan ini maka penulis akan menjabarkan beberapa sub sebagai berikut :
A.    Dasar Pijak Politik Hukum Di Indonesia
Berbicara mengenai dasar pijak politik hukum di Indonesia, maka tentunya akan dipahami pula apa yang dimaksudkan dengan politik hukum. Dengan kata lain bahwa dalam politik hukum akan dapat dipahami dalam dasar kebijakan dari suatu kebijakan peraturan. Sehingga dengan demikian maka dalam memahami politik hukum, tentunya dapat diketahui lebih dulu dalam dasar kebijakan tersebut.
Adapun yang menjadi dasar pemikiran di sini bahwa :
1.      Politik hukum sebagai suatu kebijakan yang ditetapkan oleh negara harus memiliki dasar pijakan sehingga terdapat jelas memuat visi dan misi serta tujuan yang akan dicapai oleh negara.
2.      Bahwa kebijakan hukum merupakan penjabaran lebih lanjut sebagai suatu arahan bagi suatu negara untuk melakukan review terhadap ketentuan hukum yang ada baik itu perbaikan hukum atau pencabutan suatu produk hukum karena sisi sosiologisnya bertentangan.
3.      Bahwa untuk memperlancar proses kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan ketiga dasar pemikiran tersebut di atas, mengenai memahami dasar pemikiran bahwa suatu peraturan tentunya tidak terlepas dari Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan Fundamentalnorm, atau yang the founding father, yang selalu menjadi dasar dari setiap pembentukan kebijakan hukum di Indonesia.
Adapun dalam memahami mengenai dasar pijak dari setiap pembentukan peraturan perundang-undangan, hal pokok yang terdapat dalam dasar pijak pembentukan produk hukum tersebut. hal yang dimaksudkan disini bahwa mengenai basis filosofis, basis ideologi dan basis normatif, basis konstitusi, basis moral etis, dan basis sosiologis.



1.      Basis Filosofis
Adapun mengenai basis filosofis, bahwa memberikan suatu landasan bahwa politik hukum yang terkandung di dalamnya harus mencerminkan nilai-nilai ideal kemana cita-cita luhur kehidupan berbangsa dan masyarakat hendak diarahkan. Cita-cita yang dimaksudkan tentunya harus di landasi pada Pancasila dan UUD 1945.
Menurut Teguh Prasetyo[16], Pancasila sebagai cita negara (staatsidee) dan sebagai pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia kemudian disistematisasikan dan dimasyarakatkan kembali melalui penyebarluasan serta pelaksanaannya agar dapat pancasila disebut sebagai ideologi yang memenuhi syarat sebagai pandangan hidup.
Selanjutnya salah 1 (satu) syarat dari 3 (syarat) yang dipenuhi oleh Pancasila sebagai suatu ideologi menurut Teguh Prasetyo, yakni [17]: realitas, : bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila mencerminklan realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyrakat. Ideologi harus memberikan citra bahwa dirinya adalah kenyataan dalam masyarakat itu sendiri.
Nilai-nilai yang terkandung itu mencerminkan pula cita hukum yang baik. Cita hukum mempunyai arti bahwa pada hakikatnya hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat yang berakar pada gagasan, rasa, karsa, cipta, dan pikiran dari masyarakat itu sendiri. Selanjutnya cita hukum Pancasila dapat dipahami sebagai bangunan berpikir yang mengarahkan hukum kepada cita-cita yang dicita-citakan oleh masyrakat.[18]
Dengan demikian maka hal inipun berkaitan dengan asas kenegaraan yang terkandung di dalam UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan. Hal ini mencerminkan bahwa di dalam UU No. 12 Thn 2011 tersebut mengandung suatu cita-cita hukum yang memang di inginkan dalam kehidupan berbangsa dan masyarakat.

2.      Basis Ideologis
Adapun tujuan pokok yang dapat dicermati dalam basis ideologis yang terkandung suatu pembentukan suatu produk hukum yakni :[19]
a.       Sebagai perangkat nilai-nilai dan gagasan-gagasan dan konsep-konsep melalui mana dan apa, serta bagaimana manusia (masyarakat) dapat memahami tentang hukum itu.
b.      Sebagai bintang pemandu sehingga dipandang dari isi dan arah politik hukum dalam negara.
c.       Mengarahkan kebijakan dengan tujuan yang ingin dicapai.
Berdasarkan tujuan yang terkandung dalam basis ideologis yang diuraikan di atas, maka dalam mencermati pembentukan UU No. 12 Thn 2011 dapat dijelaskan bahwa pembentukan ini dilandasi pada Pancasila dan UUD 1945 yang mana didasari pada hukum yang demokratis.
Demokratis yang dimaksudkan disini bahwa ketika pembentukan Undang-undang ini memang dengan tujuan untuk menjawab kebutuhan dan tuntutan dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
3.      Basis Normatif
Basis normative yang dimaksudkan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasari pada suatu kenyataan (das Sollen). Basis normative berbicara tentang apa yang seharusnya sehingga menilai kenyataan sekaligus merubah kearah yang seharusnya. Atau dengan kata lain bahwa merubah menjadi lebih baik, yakni menjadi benar dan adil.
Kenyataan yang diharapkan itu merupakan bentuk dari suatu cita-cita pembentukan produk hukum itu sendiri. Dengan dmeikian maka dalam pembentukan tentunya sudah menjadi kenyataan sebelumnya yang dijadikan sebagai suatu dasar pemikiran bahwa kenyataan yang akan dicapai pasti tercapai.
Tetapi tentu pula bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa dengan kepentingan politik yang selalu mengintervensi dalam pembentukan suatu produk hukum kadang selalu tidak diharapkan. Atau dengan kata lain bahwa seringkali keluar dari kenyataan.
Mendasari pada pemikiran diatas, maka ketika mencermati UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka tentunya ini memang didasari pada kenyataan bahwa ketika masih dalam pemberlakuan UU No. 10 Thn 2004 tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan yang lama ternyata masih terjadi banyak kejanggalan-kejanggalan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Hal ini sangat jelas jelas terdapat dalam konsideran UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa dalam UU No. 10 terdapat banyak kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sehingga perlu diganti.[20]
Melihat konteks ini maka dapat dikatakan bahwa hal ini memang memehuni asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, yang mengamantkan bahwa memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, bernegara dan bernegara.
4.      Basis Konstitusi
Yang dimaksudkan dengan basis konstitusi bahwa berkaitan erta dengan landasan yuridis. Basis kontitusi yang dimaksudkan disini bahwa pembentukan produk hukum didasari pada Pasal-pasal yang ada dalam UUD 1945 yang merupakan dasar pembentukan peraturan di Indonesia.
Adapun basis konstitusi tercantum dalam konsideran “Mengingat” setiap pembentukan perundang-undangan. Dalam konsideran tersebut secara jelas akan memuat Pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan suatu rujukan dalam pembentukan perundang-undangan tersebut.
Memahami konteks pemikiran tersebut, maka ketika memahami UU No. 12 Thn 2011 maka hal inipun tercantum dengan jelas bahwa yang dijadikan sebagai rujukan dalam UUD 1945 yakni Pasal 20, Pasal 21, dan pasal 22A UUD 1945.
Dengan demikian konsep politik hukum maka hal ini sejalan dengan asas kesesuaian antara jenis dan dan materi muatan yang menjadi asas pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Adapun yang dimaksudkan dengan asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan yakni bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya.[21]
Hal ini sejalan dengan pengertian politik hukum menurut mahfud MD, bahwa politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum yang lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.

5.      Basis Moral Etis
Mengenai basis moral etis yang terkandung dalam politik hukum, maka tentunya inipun sangat selalu diperhatikan karena hal ini memang sangat bersinggungan dengan politik hukum mengani kebijakan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Adapun yang dimaksudkan dengan basis moral etis yakni bahwa hal ini berkaitan erat dengan sikap moral dari para pembentuk perundang-undangan tersebut. disinilah moral yang selalu dikedepankan agar benar-benar pembentukan UU tersebut memang menuntun pada apa yang diharapkan oleh masyarakat.
Menyangkut basis ini, bahwa yang dimasudkan yakni pengambilan keputusan oleh pembentuk disadari pada kesadaran moral etis yang dapat dipertanggungjawabkan, serta para pembentuk juga harus bisa mengalahkan naluri kepentingan dirinya sendiri, keluarganya, kepentingan kelompok, maupun agamanya.[22]
Mendasari pada pemikiran Jimly Assihiddiqie tersebut, maka ketika mencermati UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka dapat dikatakan bahwa dapat dikatakan bahwa basis ini terpenuhi karena di dalam pembentukan inipun, dapat dicermati bahwa unsur-unsur yang terkandung di dalamnya untuk seluruh perundang-undang, baik itu di pusat sampai pada daerah-daerah. Dengan demikian maka hal ini memang tidak ada kepentingan individu yang mengintervensi.
Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak ada intervensi kepentingan politik dalam pembentukan UU ini. karena tidak dapat dijelaskan dengan jelas. Akan tetapi diluar daripada itu, penulis berpandangan bahwa pembentukan ini sesuai dengan basis moral etis.
Hal lain yang menjadi dasar pemikiran penulis bahwa materi pembentukan UU ini sesuai dengan asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Sebagaimana asas yang terkandung dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Adapun yang dimaksudkan dengan asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan yakni bahwa materi muatan yang terkandung dalam setiap peraturan perundang-undangan arus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan banngsa dan negara.[23]
Hal ini sejalan dengan pengertian politik hukum menurut mahfud MD, bahwa politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum yang lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.
Tujuan yang dimaksudkan bahwa adanya kesimbangan, kesersian dan keselarasan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sehingga dalam pembentukan perundang-undanganpun haruslah mengutamakan asas ini.



6.      Basis Sosiologis
Adapun mengenai basis sosiologis atau yang lebih sering disebut sebagai landasan sosiologis dalam konsideran setiap perundang-undangan. Basis ini memang sangat penting karena berhubungan erat dengan kehidupan sosial di dalam setiap kehidupan masyarakat.
Yang dimasudkan dalam basis ini bahwa dalam pembentukan perundang-undangan, hal yang sangat diperhatikan yakni bukan hanya keadaan riil bangsa Indonesia tetapi juga Internasional juga harus diperhatikan.
Selain itu juga bahwa hal lain yang perlu diperhatikan yakni mempertimbangkan aspek empiris yang didasarkan pada kesadaran hukum masyarakat Indonesia.
Kedua hal ini memang sangat penting karena segi sosial yang diperhatikan sehingga hal ini tidak mudah. Hal ini pun bisa dapat dimanfaatkan oleh kepentingan politik dari luar. Misalnya kepentingan negara-negara lain dalam mengintervensi pembentukan perundang-undangan yang ada dalam negara Indonesia.
Dengan memperhatikan kedua aspek penting yang ada maka tentunya pula dalam pembentukan perundang-undangan yang ada, seharusnya disinilah sikap moral dari setiap pembentuk Undang-undang haruslah bisa keluar dari segala kekangan kepentingan luar.
Memang tanpa disadari pula bahwa hal ini bisa terlepas dari sikap moral para pembentuk Undang-undang. Sehingga dengan demikian maka tentunya disinilah sejatinya hukum responsive diterapkan bagi para pembentuk Undang-undang.
Adapun alasan karena mengenai hukum responsive yakni menurut Nonet dan Selznick, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model).
Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya hukum responsif yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Dengan anggapan inilah, penulis berpendapat bahwa memang pada dasarnya basis sosiologis sangatlah penting yang selalu diperhatikan karena didalamnya akan terlihat jelas karakter hukum ang ada dalam pembentukan Undang-undang.
Selain itu juga hal ini sinkron dengan sistem demokrasi yang dianut oleh Bangsa Indonesia. Bahwa yang diyakini demokrasi merupakan “tolak ukur yang tak terbantahkan dari suatu keabsahan politik”. Sehingga hal tersebut memunculkan keyakinan bahwa kehendak rakyat adalah dasar utama kewenangan pemerintah menjadi basis bagi tegak kokohnya sistem politik demokrasi.
Dengan mendasari pemikiran pada uraian di atas, maka dalam mencermati dan memahami pembentukan UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka dapat penulis berpendapat bahwa basis ini jelas teradapat dalam pembentukan UU ini. hal ini dikarenakan bahwa dalam pembentukan UU ini karena disadari bahwa UU No. 10 Thn 2004 sudah tidak memenuhi berbagai permasalahan yang terjadi sehingga perlu dirubah.
Hal lain bahwa ketika UU ini dibentuk tentunya disadari pada sistem demokrasi yang berlangsung di negara Indonesia. Dengan melihat konteks pemikiran ini, penulis dapat pula berpendapat bahwa hal ini akan sejalan dengan pengertian politik hukum menurut mahfud MD, bahwa politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum yang lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.
Tujuan negara yang dimaksudkan yakni bahwa sangat relevan dengan asas Bhineka Tunggal Ika yang terkandung dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Adapun yang dimasudkan dengan asas ini yakni bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Melihat konteks ini semua maka dapat penulis berpendapat bahwa semua hal ini sangat bersinggungan dengan basis sosiologis, karena menyangkut kehidupan seluruh masyarakat Indonesia. Dengan demikian maka basis ini juga sangat penting untuk selalu diperhatikan, karena apabila tidak maka akan menimbulkan banyak pertentangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal ini sejalan dengan pengertian politik hukum menurut mahfud MD, bahwa politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum yang lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.
Tujuan negara yang dimaksudkan bahwa kehidupan ketentraman yang selalu diidamkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Hal inilah pun juga sangat jelas terkandung dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Adapun tujuan hukum yang dapat dikemukakan disini bahwa tujuan hukum mempunyai sifat universal seperti  ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat.
Sehingga dengan adanya hukum  maka tiap perkara dapat di selesaikan melaui proses pengadilan dengan prantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, selain itu hukum juga bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri.

B.     KARAKTERISTIK UU NOMOR 12 Thn 2011
Memahami kembali pembahasan sub A, maka untuk membahas karateristik hukum yang terkandung dalam UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yakni akan dilandasi dengan pemikiran mengenai hukum responsif.
Adapun pemikiran yang didirunut dari pembahasan sub-A diatas, yang mana dapat dijadikan suatu argument hukum serta menguatkan pembahasan sub-B ini. begitupun tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran mengenai karakter hukum di Indonesia.
Adapun setelah mengenai pemikiran-pemikiran tersebut, akan disinkronkan dengan karakter hukum responsive sesuai dengan pandangan hukum menurut Phillip Nonet dan Philip Selznick. Adapun menurut Nonet dan Selznick, bahwa dalam menemukan suatu hukum yang responsive mestinya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain : kedaulatan tujuan, kewajiban dan kesopanan, partisipasi hukum dan partisipasi politik, serta keadilan menuju kompetensi. Adapun mengenai hal-hal ini adalah sebagai berikut :
1.      Kedaulatan tujuan.
Adapun sejatinya kedaulatan tujuan yang dimaksudkan bahwa generalisasi hukum terhadap sejumlah produk peraturan, kebijakan dan prosedur tertentu sehingga dapat digunakan. Perangkat-perangkat hukum haruslah pula dihormati sebagai sekumpulan pengalaman mengenai definisi tatanan hukum.[24]
Mendasari pada pemikiran ini, maka dalam mencermati UU No. 12 Thn 2011 dapat diketahui bahwa sebagaimana dengan yang telah diuraikan diatas dalm sub –A, maka dapat dikatakan dapat sesuai dengan kedaulatan tujuan. Hal ini sangat erat karena pemikiran karena dalam pembentukan UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sangatlah jelas bahwa dengan suatu tujuan penting demokratis yakni untuk mampu menjawab kesenjangan-kesenjangan yang terjadi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Hal ini sangatlah merespon terhadap kebutuhan hukum yang terjadi di Indonesia. Hal inipun diilhami dari adanya kelemahan-kelemahan yang ada dalam UU sebelumnya. Sehingga perlunya dirubah untuk menjawab kebutuhan hukum tersebut.
Konteks pemikiran ini sangatlah jelas, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya sesuai dengan tujuan pembentukan yang tersirat dalam konsideran mengingat UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan di Indonesia.

2.      Kewajiban dan kesopanan
Yang dimaksudkan oleh Nonet dan Selznick bahwa adanya pertentangan dari penilaian akan memanifestasi hukum dalam pertimbangan-pertimbangan yang dapat menunjukan suatu perkembangan sistem yang maju, maka dibutuhkan suatu logika terhadap penilaian hukum tersebut yang harus sesuai dengan logika moral dan praktis.
Esensi ini jelas terlihat pada praktek aparat penegak hukum tersebut. adapun lebih khususnya pada pengadilan yang mana sesuai dengan porsinya sebagai penegakan yang final.
Dengan keadaan tersebut, maka mengenai pemikiran Nonet dan Selznick terkait menjawab suatu kewajiban dan kesopanan dalam hukum responsive, bahwa dalam mengakui kompleksitas penilaian hukum dan mengendurkan klaim terhadap kepatuhan, hukum resposif mengacu pada suatu nilai ideal yang lebih besar. Dalam kondisi ini maka hukum responsive membawa suatu janji akan kesopanan kedalam cara hukum digunakan untuk mendefinisikandan memelihara ketertiban hukum.[25]
Kembali merunut pada UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka hal ini sangat dirasakan sulit untuk dikonsepkan. Adanya realita kejanggalan-kejanggalan yang terjadi belakangan yang mana bahwa adanya permasalahan-permasalahan yang terajadi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia belakangan ini yang mana sering rancu dan tanpa disadari banyak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Keadaan konkrit inilah, menurut penulis bahwa pada dasarnya dalam pembentukan UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sudah sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia, akan tetapi begitu banyak juga adanya kepentingan-kepentingan politik yang selalu memanivestasi kepentingannya dalam penegakan hukumnya.
Dengan mendasari asumsi tersebut di atas, maka hemat penulis bahwa dalam memahami UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tentunya sudah sesuai dengan karakter hukum responsive. Akan tetapi dalam penegakannya masih seringa kurang mendasari pada suatu kesopanan dalam parktisnya.
3.      Partisipasi hukum dan partisipasi politik.
Memahami konsep pemikiran Nonet dan Selznick mengenai partisipasi hukum dan partisipasi politik, hal ini dilandasi pada akibat melemahnya kewajiban hukum dalam pembagian otoritas hukum yang luas. Ketika sistem hukum memperluas sumber-sumber kritisnya, disitu juga mendelegasikan banyak diskresi untuk memutuskan hal-hal yang otoritatif. Hal inilah yang menjadikan partisipasi hukum dengan aktifnya agar mampu menjangkau pembuatan dan interpretasi kebijakan hukum.[26]
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa partisipasi hukum diharapkan agar dapat pula menjangkau partisipasi politik. Kedua hal ini sangatlah berkaitan erat serta saling membutuhkan agar dengan tujuan tercapainya suatu karakter hukum yang responsive terhadap kebutuhan masyarakat dan bangsa Indonesia.
Melandasi pemikiran pada uraian diatas, maka adapun pendapat penulis bahwa UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sudah mengamanatkan akan partisipasi hukum dalam pembentukan UU tersebut. hal yang menjadi pemikiran penulis bahwa, ketika pembaharuan hukum terhadap UU yang lama menjadi UU yang baru ini, disini jelas adanya partisispasi hukum yang sangat mendasar untuk mencapai suatu pola pembentukan yang lebih baik.
Selanjutnya pula bahwa mengenai partisipasi politik, hal ini sebagaimana sama dengan pemikiran yang sudah diuraikan di poin sebelumnya bahwa dalam penegakan hukumnya tidak dapat dipungkiri adanya intevensi politik. Namun hal ini menurut penulis bahwa tidak berkaitan dengan pembentukan UU ini.
Yang menjadi asumsi dasar dalam penulisan ini bahwa dalam pembentukan UU ini, sudah jelas adanya partisipasi hukum dan partisipasi politik yang saling berkaitan sehingga dalam pembentukannya jelas tidak ada kepentingan-kepentingan kalangan luar yang mengintervensi kedaulatan pembentukan UU ini.
4.      Keadilan menuju kompetensi
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam suatu leegitimasi pasti adanya suatu kepentingan. Atau dengan kata adanya suatu tujuan dari pembentukan hukum tersebut. akan tetapi hal tersebut tidak merupakan kompetensi, melainkan merupakan perhatian sentral hukum otonom. Hal ini sejalan dengan pemikiran Nonet dan Selznick, bahwa proses legitimasi hanyalah suatu sentral hukum otonom yang mana dikarenakan adanya kebutuhan akan hukum sehingga dinterpretasi pembentukannya oleh para pembentuk produk hukum tersebut.[27]
Dengan pemikiran tersebut, maka menurut Nonet dan Selznick bahwa pada tahap ini, urusan utama hukum adalah mempertegas otoritas pengaturan dan keputusan, dan bukan untuk memastikan bahwa institusinya memiliki kehendak dan kompetensi untuk melaksanakan mandatnya.
Adapun maksud yang dapat dipahami terkait pandangan pemikiran Nonet dan Selznick bahwa disiniliah hukum mestinya membawa keadilan dalam pembentukannya, bukan hanya berpangkal pada pemikiran mandate legitimasi mengenai kompetensinya saja.
Dengan mendasari pemikiran tersebut, maka dalam memahami pemntukan UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka dapat dikatakan bahwa sudah mengamanatkan karakter hukum responsive. Karena di dalam pembentukannya UU ini, terdapat pula politik hukum yang dengan jelas mengedepankan nilai-nilai serta asas keadilan.
Hal ini jelas terdapat dalam UU ini, sebagaimana sesuai dengan pembahasan-pembahasan sub –A sebelumnya. Nilai-nilai serta asas yang terkandung didalam UU ini salah satunya adalah asas keadilan.

BAB 3
KESIMPULAN

Berdasarkan pokok-pokok pembahasan yang telah di uraian diatas, maka adapun kesimpulan yang dapat diberikan dalam penulisan adalah sebagai berikut :
1.      Sistem hukum yang ada di Indonesia selalu mengalami perubahan karakter. Perubahan yang dimaksudkan bahwa mengikuti pula pola atau tekanan dari politik yang sedang berlangsung di Indonesia pula. Karakter yang dapat mampu memberikan harapan atas kenyataan bagi masyarakat dan bangsa Indonesia,
2.      Dalam mengetahui suatu pemikiran dalam pembentukan produk hukum, maka tentunya akan dilihat dalam dasar pijak dalam pembentukan produk hukum tersebut. adapun dasar pijak yang dapat di ketahui yakni : (1) Basis filosofis, (2) Basis ideologi, (3) Basis normatif, (4) Basis konstitusi, (5) Basis moral etis, dan (6) Basis sosiologis. Basis-basis inilah yang menentukan pemikiran mengenai kearah mana serta tujuan pembentukan produk hukum tersebut.
3.      Karakter hukum yang terkandung dalam UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sangat dapat dikatakan bahwa memiliki karakter hukum responsive. Karena pemikiran-pemikiran yang dapat dipahami dalam UU No. 12 Thn 2011 tersebut sangatlah didasari pada suatu pembaharuan hukum terhadap kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dalam UU yang lama.











DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly., Perihal Undang-undang, Cetakan ketiga, Jakarta, 2014.
Hariyono, Membangun Negara Hukum yang Bermatabat, Anggota IKAPI, Malang, 2013.
Indrati S, Maria Farida., Ilmu Perundang-undangan, kanisius, Jogjakarta, 2007.
Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan IV 2009.
Prasetyo, Teguh., Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila, Media Perkasa, Yogyakarta, 2013.
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum responsive, Nusa Media, Bandung, Cetakan kedua, 2008.
Tanya, Bernard L., Hukum,Politik, dan KKN, Srikandi, Surabaya, Cetakan Pertama, 2006.
                                Hukum Dalam Ruang Sosial, Srikandi, Surabaya, 2006.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

SITUS INTERNET




[2]  Bernard L Tanya, Hukum,Politik, dan KKN, Srikandi, Surabaya, Cetakan Pertama, 2006, Hal : 78-79.
[3]  Hariyono, Membangun Negara Hukum yang Bermatabat, Anggota IKAPI, Malang, 2013, Hal : 16
[4]  Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan IV 2009, Hal : 31
[5]  Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum responsive, Nusa Media, Bandung, Cetakan kedua, 2008, hal. 83.
[6]  Philippe Nonet dan Philip Selznick, Ibid, Hal : 87
[7]  Pasal 1 ayat (1), UUD 1945.
[8]  Ibid., ayat (3).
[9]  Pasal 5 ayat (1) UUD 1945.
[10]   Pasal 20 ayat (1) UUD 1945.
[11] Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[12] Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[13]  Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf (b) UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[14]  Penjelasan Pasal 5 ayat (2) huruf (3) UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[16] Teguh Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila, Media Perkasa, Yogyakarta, 2013, hal.58
[17] Ibid, hal.58-59
[18] Ibid, hal. 67
[19]   Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang, Cetakan ketiga, Jakarta, 2014, Hal : 115
[20]  Konsideran Mengingat Huruf (c) UU No. 12 Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[21]  Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan, kanisius, Jogjakarta, 2007, Hal :232
[22]  JImly Assihiddiqie, Ibid, Hal : 118.
[23]  Maria Farida Indrati S, Ibid, hal : 235
[24]  Phillip Nonet dan Philip Selznick, Ibid, Hal : 89-90.
[25]  Phillippe Nonet dan Philip Selznick, Ibid, Hal :101.
[26]  Phillippe Nonet dan Philip Selznick, Ibid, Hal :106
[27]  Phillippe Nonet dan Philip Selznick, Ibid, hal : 115.